Berita

Sudah Saatnya, Vale!

Ada dua korporasi tambang transnasional yang paling awal menjejakkan kaki di Bumi Pertiwi. PT Freeport Indonesia 7 April 1967 dan Inco-Vale Indonesia 25 Juli 1968. Dengan jarak waktu pendirian yang jenak berselang, kisah divestasi keduanya berbeda.

Masih segar dalam ingatan, melalui upaya yang penuh jerih payah, Indonesia berhasil mendapatkan 51,2% saham Freeport, yang selama puluhan tahun hanya memperoleh 9,36% saham. Itu satu kredit poin plus mengingat isu kedaulatan atas kekayaan sumber data alam lebih kerap menjadi jargon dan lips service semata. Ada sebuah imperative penting, setelah Freeport, saatnya Vale!

Episode Kekalahan Sarat Kepalsuan

Terbentang di perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, pegunungan Verbeek menyimpan kekayaan mineral yang sejak lama diketahui. Sejak awal abad ke-20, temuan bijih nikel oleh para geolog Belanda menandai sebuah era ekstraksi mineral di tiga wilayah Sulawesi yang saling berbatasan. Tak berselang lama sejak upaya eksplorasi intens dilakukan, akhirnya pada 1938 sebanyak 150 ribu ton bijih nikel dikirim keluar.

Tiga puluh tahun kemudian--tak lama pascaera Soekarno berakhir--di bawah payung UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, karpet merah bagi korporasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya mineral digelar. Inco, korporasi asal Kanada, berhasil memenangi konsesi bijih nikel di daratan Sulawesi di bawah rezim kontrak karya (KK) berdurasi puluhan tahun, dan luasan area mencakup 6,6 juta hektare (ha) bagian timur dan tenggara Sulawesi.

Rezim KK merupakan kisah panjang tentang kekalahan. Sebagai contoh, renegosiasi KK PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30% yang notabene lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai 45%. Senarai kekalahan itu dapat lebih panjang lagi jika ikut menghitung biaya sosial yang mesti ditanggung masyarakat sekitar, terutama dampak terbentuknya enklave sosial dan ragam konflik sumber daya antara korporasi dengan masyarakat.

Pada 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brasil, berhasil mengakuisisi Inco. Buntutnya, 2011, PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73%. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham itu secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi KK sebagaimana amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. PT Vale ialah salah satu maskapai pertambangan asing yang mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia.

Masih Milik Asing

Amendemen KK PT Vale akhirnya bisa ditandatangani bersama pada Oktober 2014. Sayangnya, amendemen KK tersebut pun masih menyisakan sejumlah penanda kekalahan, yang utama justru tepat berada di jantung persoalan; divestasi. Kendati menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20% kepada peserta Indonesia--sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40% kepada pihak Indonesia--fakta divestasi dimaksud sumir. Alih-alih dikuasai pihak Indonesia, dari 20,49% saham publik, sebagian besarnya dimiliki pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, di antaranya Citibank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas.

Padahal, dalam UU Minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun kesepuluh sejak produksi.  

Ihwal rujukan waktu divestasi 51% saham itu mengundang beragam tafsir. Jika acuannya perpanjangan KK, 51% saham kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta dan individu Indonesia) sudah harus terealisasi 2006 mengingat KK telah diperpanjang sejak 1996. Namun, jika merujuk pada permulaan pemberlakuan ketentuan dalam KK perpanjangan sejak 2008, realisasi divestasi 51% saham kepada peserta Indonesia ialah 2018. Ringkasnya, apa pun basis waktu rujukannya, kesimpulannya satu: sudah saatnya sekarang!

Dalam isu divestasi saham PT Vale, teridentifikasi setidaknya dua poin pokok kekalahan. Pertama, divestasi saham baru mencapai 20%, itu pun minim kepemilikan peserta Indonesia. Kedua, pelaksanaan divestasi telah melewati batas waktu minimal 10 dari waktu perpanjangan KK.

Fitur kekalahan lain bersangkut paut dengan royalti dan pajak yang sangat terkait dengan isu tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance). Selama ini, publik menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi acap kali abai menuntut hal yang sama pada pihak korporasi besar pertambangan.

Dalam kesepakatan amendemen KK, disepakati kenaikan royalti dari 0,9% menjadi 2%, dan dapat menjadi 3% ketika harga nikel naik. Jika mengacu pada laporan resmi korporasi, sinyalemen pelaksanaan yang tidak konsekuen dan tak jujur cukup mengemuka. Hal tersebut merujuk pada perbedaan laporan Vale Indonesia dan Vale SA sebagai entitas pengendali utama. Dalam laporan PT Vale Indonesia 2013, biaya royalti dan lisensi hanya 0,8% dari total biaya penjualan. Sementara itu, Vale SA menyebutkan pembayaran royalti berbasis volume penjualan pada tahun yang sama sebesar 0,68% dari hasil penjualan nikel matte. Bahkan dari 2010-2013, rerata pembayaran royalti sebesar 0,63%.

Yang tak kalah janggal, perbandingan antara volume pengiriman dan jumlah produksi. Selama ini, volume pengiriman PT Vale kepada Vale Canada dan Sumitomo selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksinya, dengan dalih mengimbangi penurunan harga jual. Gejala yang sudah berlangsung setidaknya terhitung sejak 2009 mengindikasikan ketidakjujuran dan aksi manipulasi pada level produksi. Seluruh produksi dijual kepada entitas induk: Vale dan Sumitomo. Akibatnya, negara dirugikan dalam bentuk risiko penerimaan royalti dan pajak.

Kepentingan Strategis IUPK

Dalam rantai produksi global, posisi Indonesia tidaklah menggembirakan; terjebak sebatas penyuplai bahan mentah. Fenomena itu paling mengemuka pada sektor ekstraksi sumber daya alam, wa bil-khusus sektor pertambangan minerba. Berangkat dari kenyataan tersebut, inisiatif strategis yang urgen untuk disegerakan berupa hilirasasi mineral. Tak pelak, inilah salah satu motif utama penggeseran rezim kontrak ke rezim perizinan.

Sektor pertambangan minerba sebagai sektor berciri padat modal acap kali menjadi dalih bagi korporasi pertambangan untuk meminta kelonggaran dalam bentuk relaksasi ekspor bahan konsentrat. Dalam frame penyesuaian, hal tersebut boleh jadi masih dalam batas kewajaran. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan semangat dan kepentingan nasional.

Implikasi dari kebijakan relaksasi dalam penyelenggaraan pertambangan mineral bagi PT Vale Indonesia ialah melemahnya insentif untuk mempercepat pembangunan smelter, khususnya di Bahodopi, Sulteng, dan Pomalaa, Sultra. Tercatat hingga 2018 ini, pembangunan smelter baru di dua lokasi tersebut bahkan belum lagi sampai pada tahapan prastudi kelayakan; masih jauh panggang dari api.

Sejumlah fasilitas dan kelonggaran demi kelonggaran sudah terlalu banyak diberikan kepada PT Vale. Dengan berlindung di balik kesepakatan amendemen KK, perusahaan ini punya dalih untuk enggan mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Setidaknya ada dua kepentingan strategis di balik perubahan KK menjadi IUPK. Pertama, penguasaan kembali sektor minerba oleh pelaku nasional, dalam bentuk divestasi. Kedua, meningkatkan daya saing dan nilai tambah sektor minerba nasional, dalam bentuk hilirisasi. Ringkasnya, kepentingan nasional di sektor pertambangan minerba lebih terakomodasi dengan perubahan KK menjadi IUPK. Setelah Freeport, PT Vale patut menjadi agenda selanjutnya. []

Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Media IndonesiaMedcom, dan MSN.

Share: