oleh Syarief Abdullah Alkadrie
SAYA ingin mengajak semua mengubah cara pandang terhadap daerah perbatasan. Daerah perbatasan bukanlah emper belakang rumah kita. Bukan pula semata daerah pinggiran, tempat seonggok patok atau sebongkah tembok berada. Lebih dari itu, daerah perbatasan ialah halaman terdepan atau beranda rumah Indonesia di hadapan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, pembangunan perbatasan haruslah menjadi perwujudan visi dan imajinasi kita sebagai bangsa dan tentang Indonesia di masa yang akan datang.
Pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawa Citanya memasukkan pembangunan dari depan sebagai prioritas. Itu ada di poin tiga Nawa Cita yang kurang lebih berbunyi: “Kebijakan desentralisasi asimetris ini dimaksudkan melindungi kepentingan nasional RI di kawasan-kawasan perbatasan, memperkuat daya saing ekonomi RI secara global, dan untuk membantu daerah-daerah yang kapasitas berpemerintahan belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.â€
Inilah bentuk komitmen pemerintahan saat ini terhadap pembangunan daerah perbatasan sebagai beranda negara. Adapun pembangunan yang dimaksudkan itu meliputi pembangunan infrastruktur dan SDM. Sebagai anggota Komisi V DPR, saya akan lebih fokus pada pembangunan infrastruktur terutama yang ada di tapal batas.
Setidaknya, apa yang menjadi komitmen pemerintah ini ialah upaya memenuhi dua hal bagi kepentingan bangsa. Pertama, amanat UUD 45 yang menyebutkan bahwa seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kedua, terkait dengan harga diri bangsa di hadapan negara tetangga.
Pemerataan infrastruktur
Pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah saat ini tidak hanya dilaksanakan di kota-kota besar. Pemerataan pembangunan sektor ini juga dilakukan sebagai usaha menghidupkan nadi ekonomi dari Merauke sampai Sabang. Tujuannya, ketika ekonomi besar dan kecil bergerak tentu itu berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bagi daerah yang memiliki tapal batas, pembangunan infrastruktur menjadi bentuk perhatian penting pemerintah, mengingat sejak RI merdeka, pembangunan di daerah tapal batas sering kali terabaikan.
Pemerataan infrastruktur ini diharapkan membuat migrasi penduduk ke kota besar yang selama ini menjadi gula ekonomi semakin kecil. Infrastruktur yang memadai akan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru. Lapangan kerja akan terbuka dan daerah yang selama ini tertinggal akan bisa mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Pemerataan infrastruktur akan membuat otonomi daerah yang sekarang kita terapkan memiliki dampak langsung terhadap rakyat.
Saat ini, setidaknya ada tujuh gerbang perbatasan yang sedang dan sudah diperbaiki yang seiring dengan jalan menuju perbatasan, yakni Entikong, Badau, dan Aruk, Kalbar. Kemudian, Motaain, Motamasin, dan Wini, NTT. Selanjutnya, daerah Skouw di perbatasan Papua. Adapun anggaran untuk pembangunan tujuh gerbang perbatasan itu Rp943 miliar.
Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menargetkan jalan perbatasan di Kalimantan 1.900 kilometer mulai dari Mensalong, Kalimantan Utara, hingga Temajuk, Kalimantan Barat, sudah dapat ditembus akhir 2018, atau paling lambat awal 2019. Jalan di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini memiliki panjang 1.111,15 kilometer (km). Akhir 2016, jalan yang sudah tersambung mencapai 844,59 km dan menurut rencana, jalan yang tersambung pada 2017 menjadi 901,1 km.
Adapun ruas jalan di perbatasan Papua yang belum tersambung ruas, yakni Yetti-Ubrub-Oksibil sepanjang 225,6 km, dan ruas Oksibil-Tanah Merah-Muting-Merauke dengan total jalan sepanjang 41,3 km. Tidak hanya jalan, pemerintah juga merencanakan pembangunan jalur kereta api di Kalimantan dan perbaikan bandara di Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan lainnya.
Jika kita menilik lima atau enam tahun yang lalu ke daerah Entikong yang jadi perbatasan antara RI dan Malaysia di wilayah Kalimantan Barat, kita akan merasakan betapa ketertinggalan dan keterbelakangan infrastruktur terasa nyata. Kita masih bisa bersyukur karena warga di daerah perbatasan di dalam dada dan pikiranya masih tetap Merah Putih.
Sekarang jika kita pergi ke daerah Entikong, kondisinya sudah jauh berubah. Gerbang perbatasan di daerah itu sudah lima kali lebih megah dari negara tetangga. Kondisi jalan pun sudah sangat memadai. Pemerintah juga merencanakan pembangunan waduk di Kabupaten Sanggau. Proyek ini disesuaikan target pembukaan lahan sawah 50 ribu hektare dengan target ekspor beras premium ke Malaysia. Untuk proses perdagangan, pemerintah sudah membangun pasar. Begitu pun perbatasan NTT dengan Timor Leste dan Papua dengan Papua Nugini sudah megah.
Harga diri bangsa
Harga diri sebagai sebuah bangsa dan negara adalah ketika kita bisa sejajar dalam pembangunan dan tingkat kesejahteraan dengan bangsa besar di dunia. RI yang telah berusia 72 tahun sedang menggeliat melakukan pembangunan ke seluruh pelosok negeri. Apa yang dilakukan pemerintah ini sesungguhnya menumbuhkan rasa bangga dan kepercayaan diri warganya untuk maju dan menjadi penentu kepentingan politik dan ekonomi dunia. Jika rasa bangga itu muncul, nasionalisme yang selama ini ada semakin kukuh demi terjaganya Tanah Air.
Pembangunan di perbatasan yang sekarang dilakukan pemerintah merupakan wujud nyata menegakkan harga diri bangsa itu. Infrastruktur yang baik di tapal batas membuat negara tetangga akan melihat kita dengan segan dan hormat pada politik kawasan yang kita lakukan. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pembangunan perbatasan dipercepat agar warga Indonesia tidak sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan. Jika itu terjadi, artinya kita gagal meningkatkan taraf hidup warga dan menjaga harga diri sebagai sebuah bangsa dan Negara. Inilah esensi tentang ungkapan membangun dari depan.
* Penulis adalah Sekretaris Fraksi NasDem DPR RI /Anggota Komisi V