JAKARTA (7 Januari): Upaya mematangkan demokrasi di Indonesia terus dilakukan, terutama pada 2021 yang merupakan tahun meningkatnya harapan di sektor politik.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya saat menjadi narasumber dalam Forum Diskusi Denpasar 12 secara daring bertema 'Asa Politik Indonesia 2021', Rabu (6/1).
Willy menyebutkan, agenda paling krusial yang akan dituntaskan DPR adalah RUU tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
"Saat ini naskahnya sudah masuk ke Baleg. Ini merupakan RUU Pemilu pertama pascareformasi 1999 yang diinisiasi DPR, karena sebelumnya menjadi hak inisiatif pemerintah," ujarnya.
Menurut anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem itu, ada beberapa isu krusial yang menjadi catatan dalam RUU Pemilu ini. Pertama, terkait keserentakan pemilu.
"Kita bisa belajar dari keserentakan Pemilu 2019 itu banyak catatan. Tapi bagi saya catatan yang paling penting adalah bagaimana Pemilihan Presiden (Pilpres) itu tidak menjadi yatim-piatu," katanya.
Legislator NasDem itu menjelaskan, konstitusi mengatur bahwa Presiden dicalonkan oleh partai politik. Jika Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilpres diserentakan, maka nantinya Pilpres hanya akan diurus relawan karena parpol sibuk mengurus calegnya sendiri.
"Partai akan sibuk mengurus caleg yang diusungnya dan calegnya akan sibuk mengurus dirinya masing-masing. Dalam konteks itu calon presiden menjadi yatim-piatu. Masa Pilpres diurus sama relawan saja,?" tuturnya.
Wakil rakyat dari dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, Sampang) itu mengatakan isu krusial yang kedua terkait threshold. Menurut Willy, tidak ada skema lain secara alamiah dan politis untuk melakukan pematangan dan konsolidasi demokrasi selain threshold.
"Satu-satunya skema yang rasional untuk mematangkan demokrasi dengan pasar politik yang begitu volatilitas tinggi dan sangat liberal, yaitu dengan meningkatkan threshold secara terus-menerus," tegasnya.
Dalam posisi itu, lanjut Legislator NasDem tersebut, Fraksi Partai NasDem DPR mengusulkan kenaikan parliamentary threshold sebesar 7% dan presidential threshold yang kini 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada pileg, diusulkan untuk diturunkan, supaya ada ruang lebih terbuka untuk calon presiden.
Isu krusial lainnya, tambah Willy adalah terkait pilkada. Sejauh ini beredar di publik akan diserentakan semuanya (pilkada, pileg, dan pilpres). Menurut dia itu merupakan suatu hal yang sangat berat.
"Karena unsur dari pemilu itu kan ada tiga yaitu peserta, pemilih, dan penyelenggara. Bayangkan mengurus 270 pilkada itu sudah menguras banyak hal, apalagi pileg dan pilpres dijalankan secara bersamaan, bisa membuat semaput kita semua," ujarnya.
Jadi, sambung dia, terkait UU Pemilu itu rasionalitas harus menjadi pertimbangan, tidak hanya berbicara efisiensi anggaran.
"Memang demokrasi adalah sebuah jalan yang mahal, maka perlu ada sebuah hal yang harus kita rasionalisasikan," tegas Willy.(HH/*)