JAKARTA (14 Januari): Gagasan wisata halal dimaknai beragam dan menuai pro kontra di kalangan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Belakangan kembali mencuat gagasan wisata halal di destinasi pariwisata kebanggaan Indonesia yang kental kearifan lokalnya, seperti Bali dan Danau Toba, Sumatera Utara.
Tidak sedikit suara dan pandangan masyarakat, komunitas, pegiat budaya, bahkan kepala daerah yang menolak label wisata halal untuk disematkan pada bagian dari identitas pariwisata daerah.
Menyikapi hal tersebut, anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru mengatakan label wisata halal memang tidak perlu karena dirasa tidak pas di Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi daring yang digelar Fraksi Partai NasDem DPR RI dengan tema 'Menakar Gagasan Pengembangan Wisata Halal Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19 dan Setelahnya', Rabu (13/1).
Hadir dalam diskusi tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Azril Azahari, dan Enhaii Halal Tourism Center, Wisnu Rahtomo.
"Secara konsep dan niat memang itu baik, namun tidak tersupport dengan kultur kita yang sangat beragam," ujar Ratih.
Label wisata halal, tegas Legislator NasDem itu, dirasa tidak perlu juga karena mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim.
"Maka dari itu label tersebut memang tidak diperlukan karena malah hanya menimbulkan kegaduhan," kata Ratih.
Srikandi NasDem itu juga mengatakan, dengan menggunakan istilah ramah muslim (Muslim Friendly) dirasa sudah cukup untuk membuat para wisatawan nyaman.
"Wisatawan akan merasa nyaman dengan ketersediaan tempat makan, tempat tinggal, dan tempat ibadah yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan muslim," tambahnya.
Selain itu, wakil rakyat dari dapil Sulawesi Barat tersebut meminta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk fokus dalam pemulihan pariwisata, setidaknya secara domestik.
"Selain mengembalikan lagi rasa percaya bagi wisatawan mancanegara untuk kembali berlibur ke Indonesia sebagai destinasi utama mereka," tutupnya.
Senada dengan yang disampaikan Ratih, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Martin Manurung mengungkapkan bahwa di Global Muslim Travel Index ada enam kategori untuk bisa menempati pariwisata muslim friendly yaitu, mencantumkan label non-halal, layanan saat bulan ramadhan, kamar mandi untuk mandi dan wudhu, tempat ibadah, makanan halal, dan fasilitas rekreasi privat.
"Dengan mayoritas muslim kita nomer satu destinasi halal. Tidak perlu terlalu banyak terjebak pada labeling. Kita cukup benahi dan ambil pasar sebanyak-banyaknya untuk konsumen ini," ujar Martin.
Potensi market itu sangat besar, sambung Legislator NasDem asal Sumatera Utara II tersebut. Akan sangat rugi jika kita tidak masuk di market itu.
Di sisi lain, Sandiaga Uno mengatakan destinasi wisata seperti Danau Toba menjadi market yang terus tumbuh. Jadi perlu ada perpanjangan layanan di sana.
"Indonesia itu cantik sekali. Jangan terjebak dalam label. Pariwisata bisa kita bangun untuk membuka lapangan kerja dan memulihkan ekonomi lagi," ujar Sandiaga.
Dia juga menjelaskan konsep pariwisata halal adalah seperangkat layanan tambahan (extended services) terkait amenitas, daya tarik wisata, dan aksesibilitas yang ditujukan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman, kebutuhan dan keinginan wisatawan muslim.
“Yang penting diingat adalah bukan zonanya yang halal, tetapi pelayanannya. Itulah yang perlu pemahaman dan perlu disosialisasikan. Jadi, jangan terjebak dengan label wisata halal. Tidak ada halalisasi di suatu zona,†tegas Sandi.(HH/*)