Berita

Komisi II DPR Normalisasikan Pilkada

JAKARTA (26 Januari): Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa mengatakan, Komisi II DPR berkeinginan melakukan normalisasi pilkada melalui revisi UU Pemilu. Pilkada kembali dilaksanakan setiap lima tahun sehingga tetap ada Pilkada pada tahun 2022 dan 2023 yang oleh UU Pemilu No.7 tahun 2017 ditiadakan karena akan dilakukan serentak dengan Pilpres dan Pileg pada 2024.

"Itu semangat yang ada di Komisi II DPR ketika menyusun draf UU Pemilu. Jadi memang kita menjadwalkan pada tahun 2022 dan 2023  itu ada pilkada. Sesuai dengan jadwal itu maka termasuk Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2022," kata Saan.

Saat ini, DPR tengah menggodok RUU Pemilu. Draf RUU Pemilu saat ini sudah diserahkan ke Badan Legislasi DPR. NasDem setuju pelaksanaan pilkada sesuai jadwal lima tahunan.

"Dalam revisi UU Pemilu, kita menggabungkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Itu disatukan menjadi UU Pemilu.  Jadi yang dalam UU Pemilu diatur bahwa Pilpres, Pileg, dan Pilkada diserentakkan pada tahun 2024, kita normalkan kembali. Jadi pada tahun 2022 tetap ada pilkada dari hasil Pilkada 2017, dan tahun 2023 ada pilkada dari hasil Pilkada 2018," papar Saan.

Legislator NasDem dari dapil Jawa Barat VII (Kabupaten Bekasi, Karwang, Purwakarta) itu juga mengatakan, kalaupun ada keinginan untuk menyerentakkan pilkada, maka opsi tersebut lebih baik digelar pada 2027.

"Tapi belum final disatukan itu," katanya.

Saan menyatakan, hampir seluruh fraksi di DPR menginginkan agar pelaksanaan Pilkada tetap berjalan lima tahun sekali dan dipisahkan dari Pileg dan Pilpres.

Setidaknya ada tiga alasan Pilkada tahun 2022 dan 2023 tidak digelar serentak pada 2024 bersamaan dengan Pileg dan Pilpres.

Pertama karena persoalan pengamanan yang tidak memadai. Kedua, pertimbangan dari sisi kualitas elektoral.

"Kalau diserentakkan pada tahun 2024, walaupun waktu berbeda ada Pileg, ada Pilpres ada Pilkada. Tahapan Pilpres dan Pileg saja belum selesai, sudah ada pilkada lagi. Bagaimana penyelenggara mengelolanya?. Ini juga jadi pertimbangan kenapa ingin dinormalkan," ujarnya.

Alasan ketiga, berkaca pada Pemilu 2019 yang memakan banyak korban jiwa dari sisi petugas.

"Tapi paling penting nanti kualitas elektoral berkurang. Kenapa? Karena orang sudah tidak fokus lagi pada pilkada. Kemarin saja kualitas elektoral untuk legislatif berkurang, karena orang fokus pada pilpres," tegasnya.(*)

Share: