JAKARTA (3 Februari): Fraksi Partai NasDem DPR RI berpandangan bahwa ketentuan keserentakan pilkada, pileg dan pilpres pada tahun 2024 dapat tidak dilaksanakan karena ada preseden sebelumnya terdapat ketentuan dalam undang-undang yang juga tidak dilaksanakan. Itu bisa dipakai sebagai contoh dan dijadikan dasar pertimbangan penetapan keputusan atau konsideran.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi NasDem, Willy Aditya mengemukakan itu dalam keterangan tertulisnya yang dikeluarkan di Jakarta, Rabu (3/2).
Willy menjelaskan, aturan keserentakan Pilkada tertuang pada Pasal 201 ayat (8) UU No 10/2016 yang berbunyi; "Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024".
Sedangkan Pasal 201 ayat (2) UU No1/2015 berbunyi; "Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2016, tahun 2017 dan tahun 2018 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2018, dengan masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan tahun 2020."
"Tetapi keserentakan pilkada di tahun 2018 seperti yang diamanatkan dalam Pasal 201 ayat (2) UU No1/2015 itu tidak terjadi. Artinya, pasal itu tidak dilaksanakan. Itu merupakan basis objektif yang bisa menjadi pertimbangan dan dasar penetapan keputusan. Itu ada lho, peraturan yang tidak bisa dijalankan," tegas Willy.
Bagi NasDem, kata Willy, karena ada ketentuan UU yang tidak dilaksanakan (Pasal 201 ayat (2) UU No 1/2015) membuat NasDem terus bersikukuh agar pilkada dinormalisasi. Maksudnya, suatu daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatan pada tahun 2022 atau 2023 tetap menggelar pilkada pada tahun tersebut. Bukan dimundurkan ke tahun 2024 dan diserentakkan dengan pileg, pilpres.
Menurut wakil rakyat dari dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) itu, keserentakan pilkada, pileg dan pilpres pada tahun 2024 dinilai sebagian pihak menjadi gelaran pemilu yang riskan.
"Pengalaman keserentakan Pileg dan Pilpres 2019 yang melelahkan penyelenggara, menjadi salah satu acuan," pungkas Willy.(RO/*)