Berita

Kesetaraan di Bidang Politik Peluang Perempuan Warnai Kebijakan

JAKARTA (3 Februari): Keterwakilan perempuan di bidang politik bukan semata untuk memenuhi kesetaraan, lebih dari itu dapat mewarnai kebijakan yang dihasilkan dari sebuah proses politik.

"Buku berjudul 'Jalan Terjal Perempuan Politik' ini dilahirkan para perempuan dari berbagai partai politik agar para perempuan di Indonesia dapat terinspirasi berperan aktif di bidang politik," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat pada diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bekerja sama dengan Dialektika Spesial Peluncuran dan Bedah Buku berjudul 'Jalan Terjal Perempuan Politik', Rabu (3/1).

Diskusi yang dimoderatori Emir Chairullah, jurnalis Media Indonesia itu dihadiri Dwi Septiawati Djapar (Ketua Umum DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia/KPPI), Lena Maryana Mukti (politisi Partai Persatuan Pembangunan /PPP), Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem) dan Anne Ratna Mustika (Bupati Purwakarta, Jawa Barat) sebagai narasumber.

Hadir sebagai penanggap pada diskusi itu Yunarto Wijaya (Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia) dan Usman Kansong (Ketua Dewan Redaksi Media Group).

Menurut Lestari, para perempuan harus terus meningkatkan semangat untuk berjuang mewujudkan kesetaraan di bidang politik, agar para perempuan dapat ikut menghasilkan kebijakan lewat proses politik.

Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, buku 'Jalan Terjal Perempuan Politik' yang berisikan opini para perempuan politisi membuka mata masyarakat mengenai kondisi dan potensi yang bisa diraih para perempuan di bidang politik.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai buku yang berisi kumpulan opini para perempuan politisi itu merupakan sebuah langkah kecil untuk menciptakan langkah besar dalam mewujudkan kesetaraan di bidang politik.

Sedangkan Anne Ratna Mustika mengakui keterpilihannya sebagai bupati mampu menghasilkan sejumlah program di sektor pendidikan dan kesehatan yang sangat bermanfaat bagi warga Purwakarta.

Program di sektor pendidikan di Purwakarta, menurut Anne, memasukkan muatan lokal sebagai bagian bahan ajar di sejumlah tingkatan pendidikan. Selain itu, Purwakarta juga mampu memberikan layanan kesehatan secara gratis.

Sementara itu, Dwi Septiawati Djapar mengakui saat ini di sejumlah bidang sudah ada keterlibatan perempuan. Namun, jelasnya, bila dipresentasikan jumlah keterlibatan perempuan di berbagai bidang lebih sedikit daripada laki-laki. Padahal, jelas Dwi, jumlah perempuan lebih besar dari 50% populasi yang ada di negeri ini.

Dengan kondisi tersebut, kata Dwi, sangat disayangkan representasi perempuan belum signifikan dalam pengambilan keputusan di bidang politik. Kondisi inilah yang menjadi alasan keterwakilan perempuan di bidang politik dan jabatan publik harus terus diperjuangkan.

Politisi PPP,  Lena Maryana Mukti berpendapat, undang-undang adalah pangkal sebuah kebijakan. Namun sangat disayangkan karena representasi perempuan di parlemen masih di bawah 30%, sejumlah agenda yang sedang diperjuangkan para perempuan belum mampu diwujudkan.

Agenda tersebut, ungkap Lena, antara lain upaya menghilangkan praktik patriarki yang berkelindan dengan praktik oligarki sehingga mengabaikan merit system dalam proses keanggotaan di partai politik.

Karena itu, Lena mengusulkan, harus ada intervensi kebijakan dalam keanggotaan partai politik yang mewajibkan 30% struktur kepemimpinan di partai politik harus perempuan.

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini berpendapat, salah satu problem besar perempuan di bidang politik adalah mendapatkan kesempatan publikasi yang sama di media massa.

Hal itu penting, ujarnya, bukan sekadar bisa bersuara di ruang publik, lebih dari itu suara perempuan bisa sampai dan ditindaklanjuti para pemangku kepentingan.

Menurut Titi, jika kesetaraan dan keadilan sudah tersedia bagi perempuan, maka tidak perlu lagi langkah afirmasi dalam satu kebijakan.  Namun kenyataannya hingga saat ini perempuan masih mengalami beban ganda, kekerasan dalam rumah tangga, stereotype dan stigma tertentu, sehingga konsep afirmasi masih diperlukan dalam sebuah kebijakan.

Diakui Titi, upaya sejumlah parpol yang urung merevisi UU Pemilu membuka peluang terulangnya peristiwa Pemilu 2019 dimana pelaksana pemilu kewalahan hingga memakan korban jiwa.

Di sisi lain, jelas Titi, kondisi tersebut juga menjadi beban bagi para caleg perempuan dengan keterbatasan yang dialaminya harus bersaing bebas dengan laki-laki.

Sedangkan Yunarto Wijaya berpendapat, demokratisasi internal partai politik harus menjadi agenda bersama. Karena, praktik tidak demokratis di internal parpol menciptakan sengkarut yang mendorong parpol tidak berpihak pada kesetaraan gender.[*]

Share: