JAKARTA (9 Februari): Fraksi Partai NasDem di Komisi IX DPR RI mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memanfaatkan temuan berupa obat herbal atau jamu dan GeNose C19. Anggaran 2021 Kemenkes bahkan dikritik karena dianggap belum memperhatikan produk obat herbal nasional.
"Ini Bapak Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin belum menganggarkan di sini. Padahal sudah lama kami minta. Ini perlu ada satu alokasi anggaran untuk itu," ujar anggota Komisi IX DPR RI, Fadholi dalam raker dengan Menkes Budi Gunadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/2).
Hal senada disampaikan anggota Komisi IX dari Fraksi NasDem, Nurhadi. Menurut dia, produk jamu nasional bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan imunitas, terutama bagi tenaga kesehatan.
"Setidaknya ini bermanfaat ganda. Selain memperkuat imun tenaga kesehatan kita juga memperkuat ekonomi, utamanya UMKM industri herbal," kata Nurhadi.
Wakil rakyat dari dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kota/Kabupaten Kediri, Kota/Kabupaten Blitar) itu pun membandingkan pemanfaatan obat herbal di Beijing, Tiongkok.
Di sana, kata Legislator NasDem itu, pengobatan herbal lokal sangat diperhatikan. Sedangkan pengobatan barat persentasenya sangat sedikit
"Sehingga herbal Cina (Tiongkok) begitu kuat. Ini yang membuat barangkali juga Cina bisa mengatasi Covid-19. Saya kira ini mohon diperhatikan," kata dia.
Selain jamu, Nurhadi juga meminta Kemenkes memberikan perhatian terhadap penggunaan GeNose C19. Selain menghargai karya anak bangsa, akurasi alat pendeteksi Covid-19 yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu lebih akurat dari rapid test antigen.
"Menurut ahli dari UGM, akurasinya 90 persen. Ini mohon dipertimbangkan," kata dia.
Ada beberapa alasan sehingga Nurhadi meminta Kemenkes mengutamakan GeNose C19 daripada rapid test antigen. Pertama, alat tes usap itu diimpor.
"Saya khawatir pengadaan rapid test antigen ini bermasalah. Ada udang di balik batu karena anggaran cukup besar mencapai Rp12,5 triliun," ujar dia.
Selain itu, akurasi cukup rendah. Hal tersebut dibuktikan pengalamannya menggunakan rapid test antigen.
"Ketika saya kena Covid-19 awal Januari, rapid test antigen negatif, tapi di PCR (polymerase chain reaction), positif," katanya. (medcom/*)