Berita

Banyak Makan Korban, UU ITE Harus Direvisi

JAKARTA (17 Februari): Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari menilai penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seringkali bermasalah sehingga banyak memakan korban karena adanya pasal multitafsir. Karena itu Taufik menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta DPR merevisi UU tersebut.

"Sejak dulu saya berharap ada revisi UU ITE. Karena hemat saya, dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya. Pasal itu menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat," kata Taufik dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2).

Legislator NasDem itu menilai pandangan Presiden untuk membuka peluang merevisi UU ITE sudah didasarkan pada fakta di lapangan yang menjadi perhatian Presiden.

Berdasarkan laporan yang dihimpun ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), sejak 2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus terkait dengan Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).

Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, antikorupsi, prodemokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.

Selain itu, data terbaru LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers menunjukkan terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis sepanjang 2020. Dari 10 kasus tersebut mayoritas menggunakan pasal karet UU ITE, delapan jurnalis dikriminalisasi dengan ketentuan UU ITE, lima kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan tiga kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.

Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan/pencemaran nama baik secara daring pada implementasinya, penghinaan atau pencemaran nama baik diartikan secara luas, dan tidak merujuk pada batasan dan pengecualian yang diatur dalam Pasal 310-311 KUHP yaitu hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

"Konten jurnalistik dipastikan memenuhi aspek kepentingan umum, sehingga harusnya tidak dapat dijerat dengan pasal itu. Namun justru digunakan untuk mengkriminalisasi karya jurnalistik," tegas wakil rakyat dari dapil Lampung I (Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus, Pesawaran, Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Pringsewu, Pesisir Barat) tersebut.

Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai NasDem itu juga menjelaskan, dalam Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2), pada praktiknya dikhawatirkan digunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan Pasal 28 Ayat (2) berbunyi; "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Muatan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk kalimat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 ini, tafsirnya bisa luas. Kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian," ungkap Taufik.

Legislator NasDem itu menegaskan, pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE, pada akhirnya bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan kritik.

"Karena itu, sebaiknya pasal yang potensial menjadi pasal karet dihapus atau dicabut saja. Selanjutnya perlu dipikirkan agar masyarakat diberi pengetahuan yang cukup tentang literasi digital khususnya dalam memproduksi konten digital. Masyarakat diedukasi seperti apa batasan-batasan dalam menggunakan teknologi informasi terutama di media sosial, sehingga penggunaan teknologi tetap berjalan sesuai dengan fungsi positifnya," harap Taufik.

Sebelumnya, Presiden Jokowi membuka kesempatan agar DPR merevisi UU ITE jika implementasinya menimbulkan ketidakadilan. Presiden meminta agar Kapolri selektif dan berhati-hati dalam menyikapi dan menerima laporan dugaan pelanggaran UU ITE, di mana pasal-pasal dalam UU tersebut yang bisa diterjemahkan secara multitafsir.(RO/*)

Share: