Berita

UU MHA bukan Penghambat Investasi

JAKARTA (6 Mei): Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) Willy Aditya mengatakan nasib RUU MHA kini seakan digantung.

Pasalnya, hingga kini, RUU yang sudah disepakati dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) itu masih belum juga dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

“Kalau sekarang lebih digantung. Belum diputuskan oleh paripurna sebagai usul inisiatif DPR,” ujar Willy dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Peluang & Tantangan Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat' secara virtual, Rabu (5/5).

Menurut Wakil Ketua Baleg itu, ada pihak yang beranggapan keberadaan RUU MHA akan menjadi penghambat dari pembangunan investasi. Apalagi setelah UU Cipta Kerja disahkan.

“Jadi ada semacam momok. RUU Masyarakat Hukum Adat ini dianggap sebagai penghambat dari pembangunan investasi. Apalagi setelah keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.

Anggota Komisi XI DPR RI itu menegaskan, UU MHA bukan ancaman bagi investasi dan pembangunan di Indonesia.

“Narasi, logika-logika dan cara berpikir bahwa undang-undang ini menjadi ancaman bagi investasi dan pembangunan harus dipatahkan,” tegas Willy.

Justru, menurut Legislator NasDem tersebut, peraturan tersebut sangat dibutuhkan pemangku kepentingan di negeri ini.

"Padahal ini ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam BPUPKI, para founding father kita berbicara ini kok. Meletakkan bagaimana secara eksplisit Soekarno mengatakan kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang ada di masyarakat Nusantara kita,” ucapnya.

Willy menjelaskan secara prosedur semua sudah dilalui dan mayoritas fraksi di DPR pun menyetujui RUU MHA.

Karena itu wakil rakyat dari dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu mendorong agar RUU MHA segera dibawa dalam rapat paripurna sebagai hak inisiatif DPR.

Sebelumnya, Baleg menyetujui RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menjadi inisiatif DPR. Keputusan diambil melalui rapat pleno yang pada 1 Juli 2020.

Sementara itu, RUU MHA disepakati menjadi usul inisiatif DPR pada 4 September 2020. Hal itu merupakan kesepakatan delapan dari sembilan fraksi DPR.(HH/*)

Share: