Berita

Bangun Kolaborasi Wujudkan Link and Match Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha

JAKARTA (9 Juli): Bangun kolaborasi yang kuat dari sejumlah pihak untuk menjadikan perguruan tinggi yang siap mewujudkan link and match dengan dunia usaha, dalam upaya membuka lapangan kerja. 

"Kita dihadapkan pada bonus demografi yang di satu sisi bisa menjadi kekuatan, namun di sisi lain berpotensi menjadi bencana jika tidak diiringi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutannya pada diskusi daring bertema Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana yang Mengkhawatirkan yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (9/7/2025). 

Diskusi yang dimoderatori Dr. Usman Kansong (Staf Khusus Wakil Ketua MPR) itu menghadirkan Darmawansyah, S.T., M.Si (Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia), Hiramsyah S. Thaib (President Director & Group CEO PT Gobel International), dan Dr. Silverius Y. Soeharso. S.E., M.M., Psikolog (Dekan Psikologi Universitas Pancasila) sebagai narasumber. 

Selain itu hadir pula Millie Lukito (Ketua Bidang Ekonomi DPP Partai NasDem) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, pengangguran tidak hanya berdampak pada individu, melainkan juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang masif secara nasional. 

Dampak pengangguran yang dirasakan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, antara lain peningkatan angka kemiskinan hingga ketimpangan sosial melebar. 

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat, salah satu akar masalah yang perlu dibenahi adalah sistem pendidikan tinggi yang belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang bisa memenuhi kebutuhan dunia usaha. 

Menurut Rerie, pendidikan tinggi harus mampu melahirkan SDM yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia usaha, sekaligus SDM yang memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja. 

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat mampu berkolaborasi dengan baik untuk melahirkan ekosistem pendidikan nasional yang mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing. 

Silverius Y. Soeharso berpendapat, pendidikan tinggi di Indonesia saat ini bermasalah. 

Karena, ujar Sonny, sapaan akrab Silverius Y. Soeharso, hasil pendidikan di perguruan tinggi saat ini tidak memenuhi kebutuhan dunia kerja. 

Selain itu, tambah Sonny, birokrasi dan pengembangan teknologi tidak menjawab kebutuhan bangsa. Menurut dia, daya saing SDM Indonesia saat ini kalah dengan SDM negara-negara tetangga. 

Diakui Sonny, kenaikan UMR di Indonesia didasari atas peningkatan biaya kebutuhan dasar hidup, bukan berdasarkan kinerja. 

Menurut Sonny, untuk membangun sektor pendidikan seharusnya mengembangkan ekosistem pendidikan yang utuh, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Sehingga, tambah dia, hasil pendidikan yang dilahirkan merupakan SDM yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dunia usaha. 

Hiramsyah S. Thaib berpendapat masalah pengangguran di setiap level pendidikan merupakan isu besar yang harus diatasi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Menurut Hiramsyah, untuk mewujudkan itu Indonesia sudah pada jalur yang benar. Apalagi secara makro ekonomi GDP Indonesia masuk peringkat 8 terbesar dunia. 

Namun, ujar Hiramsyah, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, tingkat pengangguran di Indonesia termasuk yang tertinggi. 

Menurut dia, sebelum mendorong pertumbuhan ekonomi, harus terlebih dahulu merealisasikan stabilitas politik dan sosial. 

"Tingkat pengangguran yang tinggi ini berpotensi melahirkan ketidakstabilan atau gangguan sosial masyarakat," ujarnya. 

Hiramsyah menyarankan, agar Indonesia memiliki strategi yang fokus untuk mengatasi masalah pengangguran dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. 

"Yang belum kita lakukan saat ini adalah  menerjemahkan berbagai rencana pembangunan yang ada itu ke dalam program-program yang konkret," ujar Hiramsyah. 

Darmawansyah mengungkapkan, potret ketenagakerjaan Indonesia saat ini ada 153 juta angkatan kerja, 145 juta pekerja, dan tercatat 7,28 juta pengangguran. 

Diakui Darmawansyah, bila dilihat dari sisi pendidikan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi mengalami peningkatan. 

Sejumlah temuan, ungkap dia, di lapangan tidak terjadi link and match antara pencari kerja dan dunia usaha. Pencari kerja, jelas dia, belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia usaha. 

Para pengusaha, ungkap Darmawansyah, mengeluh sulitnya mencari tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan. 

Selain itu, tambah dia, ada juga kelompok pengangguran yang disebabkan kurangnya mendapat informasi terkait peluang kerja yang tersedia, seperti masyarakat yang tinggal di pelosok. 

Darmawansyah mengungkapkan, arah kebijakan pemerintah di sektor ketenagakerjaan antara lain berupaya menciptakan lapangan kerja dan mengupayakan kompetensi melalui berbagai upaya penguatan keterampilan calon tenaga kerja. 

Bahkan, ujar dia, pihaknya juga berupaya membantu untuk menangkap peluang lapangan kerja dari sejumlah program-program unggulan pemerintah. 

Seperti antara lain, tambah Darmawansyah, melalui program Koperasi Merah Putih yang membutuhkan banyak SDM dengan kompetensi pengelolaan keuangan dan aset yang tepat. 

Millie Lukito menilai sarjana lulusan Indonesia sejatinya pintar dan cerdas, namun ketika memasuki dunia kerja menghadapi gap antara kecerdasan yang dimiliki dengan kebutuhan industri. 

Pekerja migran asal Indonesia, ungkap Millie, kalah bersaing dengan pekerja migran asal Filipina di dunia, karena tidak memiliki kemampuan dasar berbahasa Inggris. 

Menurut Millie, diperlukan pusat pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri untuk mempersiapkan keterampilan dan kompetensi yang sesuai dengan kesempatan kerja yang tersedia di luar negeri. 

Millie berpendapat, dibutuhkan kurikulum yang mampu membekali kemampuan dasar para lulusan lembaga pendidikan di Indonesia, agar dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja. 

Pelajaran Bahasa Inggris misalnya, menurut Millie, bisa diajarkan sejak sekolah dasar, sehingga para sarjana kelak memiliki keterampilan berbahasa Inggris yang baik, sebagai salah satu bekal untuk bersaing di pasar kerja global. (*)

Share: