JAKARTA (17 Maret): Fraksi Partai NasDem DPR RI memprediksi beberapa pasal krusial dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang akan dibahas tahun ini.
Pertama, Pasal 1 ayat 1 yang berkaitan dengan ketentuan umum tentang definisi hasrat seksual. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya mengatakan penjelasan hasrat itu harus diperjelas agar tidak bias.
"Itu benar-benar harus mampu kita definisikan secara lebih arif, bijaksana, dan tepat," ujar Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (17/3).
Kedua, Pasal 12 tentang pelecehan fisik dan nonfisik. Pasal itu bakal mengatur kontrol sosial dan lainnya. Sebab, selama ini pasangan berzina selalu mendapat perlakuan tidak mengenakan dari masyarakat.
"Kalau ketahuan zina atau ketahuan serong itu ditelanjangi dibawa keliling kampung. Ini apa tidak ada yang lebih beradab?" ujar dia.
Ketiga, berkaitan dengan aborsi di Pasal 15. Ketentuan itu harus dibahas secara komprehensif agar tidak dianggap sebagai pintu masuk melegalkan aborsi.
"Nah, ini harus kita diskusikan, bagaimana ini (aborsi) bentuknya seperti apa?" ujar Legislator NasDem tersebut.
Regulasi juga mengatur kawin paksa yang tercantum di Pasal 17. Hal itu mengemuka karena di Indonesia masih ada kawin paksa.
"Kita ini dari Minangkabau pasti ada narasi Siti Nurbaya. Itu kan kawin paksa," ujar wakil rakyat dari dapil jawa Timur XI (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) itu.
Selanjutnya, Pasal 18 yang mengatur pemaksaan pelacuran. Willy mengatakan ketentuan itu mendapat pro dan kontra karena dianggap mengakui prostitusi.
"Ini logika berpikir saja. Jadi teman-teman di Baleg yang menolak mengatakan, kalau pemaksaan pelacuran artinya ini sepakat dengan legalisasi prostitusi," kata dia.
Willy menegaskan RUU PKS dapat meletakkan secara jelas antara domain privat dan domain publik. Sebab, banyak kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga.
"Nah, negara harus bisa mengatur yang namanya public domain, masa negara mau turut serta dalam urusan ranjang? Kan narasi yang berkembang di publik seperti itu," tegas Willy.(medcom/*)