Berita

Utamakan Dialog dalam Menghadapi Masalah Bangsa

JAKARTA (24 Maret) : Kekuatan dialog harus selalu ditanamkan dan diterapkan dalam kehidupan setiap anak bangsa dan dinamika setiap organ negara.

"Berbagai dinamika saat ini terkait wacana amandemen terbatas UUD 1945 harus dikaji lewat dialog yang konstruktif," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Membedah Wacana atas Amandemen Terbatas UUD 1945 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/3).

Diskusi yang dimoderatori Lutfy A Mutty,Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah itu, dihadiri Taufik Basari (Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI/anggota DPR RI), Muhammad Qodari, (pengamat politik, Direktur Eksekutif Indobarometer), Valina Singka (Guru Besar FISIP UI), dan Atang Irawan (pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan) sebagai narasumber.

Selain itu menghadirkan Ruslan Tambak (Pemimpin Redaksi RMOL) dan Arya Fernandez  (Department of Politics and International Relations, CSIS) sebagai penanggap.

Menurut Lestari yang akrab disapa Rerie, dialog yang dilakukan, tidak dimaksudkan untuk mendukung pendapat satu dan lainnya, namun semata untuk tata kelola yang mampu mewujudkan jalan terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apalagi, kata Legislator NasDem itu, realitas kebangsaan mengajarkan bahwa bangsa ini dibangun dari berbagi pikiran konstruktif lewat berbagai dialog.

Karena itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut, komitmen kebangsaan yang dibangun oleh founding fathers, dan juga komitmen kebangsaan yang dibangun di atas semangat reformasi harus tetap konsisten menjaga eksistensi NKRI.

Sedangkan Taufik Basari berpendapat, momentum amandemen UUD 1945 harus didasari semangat menata kembali acuan bernegara.

Menurut Legislator NasDem dari dapil Lampung I tersebut, terdapat beberapa wacana permasalahan sistem ketatanegaraan. Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) misalnya akan menimbulkan konsekuensi pada sistem presindesial.

Jadi, ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem itu, sebelum mengamandemen UUD 1945 harus melalui kajian yang mendalam. Demikian pula dengan usulan PPHN yang harus dikaji ulang, dipertimbangkan kembali secara mendalam.

Guru Besar FISIP UI, Valina Singka, menganjurkan sebelum memutuskan amandemen konstitusi, perlu dilakukan evaluasi apakah problem yang dihadapi bangsa ini disebabkan oleh konstitusi atau karena pelaksanaan regulasi. Bisa jadi, jelas Valina, undang-undang yang ada saat ini yang belum bisa menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat atau undang-undang yang ada belum dijalankan dengan baik oleh para pemangku kepentingan.

Semangat amandemen, menurut Valina, tidak bisa dipisahkan dari gerakan reformasi. Saat muncul gerakan reformasi, semangat amandemen bertujuan membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat kewenangan legislatif, serta mempertegas sistem presidensial.

Sedangkan Muhammad Qodari menilai saat ini ruang amandemen itu terbuka untuk merespon persoalan yang dihadapi bangsa.

Menurut Direktur Eksekutif Indobarometer itu, masalah yang dihadapi bangsa saat ini adalah ancaman polarisasi. "Sekarang ini kita sedang menuju perpecahan sebagai dampak polarisasi yang dikhawatirkan bisa berujung pada munculnya korban jiwa," ujar Qodari.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Atang Irawan berpendapat, penyelesaian masalah bangsa tidak melulu lewat amandemen konstitusi. Karena amandemen konstitusi akan berimplikasi pada perubahan sejumlah aturan lainnya.

Demikian juga dengan usulan memunculkan kembali GBHN atau PPHN untuk memperbaiki manajemen pembangunan nasional.

Atang menegaskan, bila ingin mengusir semut jangan membakar rumah. Bukankah ada UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang ditujukan sebagai acuan melaksanakan pembangunan.

Untuk memperkuat manajemen pelaksanaan pembangunan nasional saat ini, menurut Atang, cukup memperkuat sejumlah aturan pada undang-undang tersebut.[*]

Share: