JAKARTA (28 Juli): Energi kelistrikan nasional adalah kebutuhan premier dan harus dapat memberikan manfaat secara merata dan berkeadilan. Oleh karenanya, rencana Indonesia menuju transisi energi dari sisi regulasi, institusional, pendanaan, sumber daya manusia dan upaya-upaya lain harus dapat dilakukan untuk mempercepat implementasinya.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto dalam Webinar Coffee Morning bersama Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Selasa (27/7).
"Transisi energi ini diharapkan bisa menghasilkan energi listrik dengan harga terjangkau, kompetitif, ekonomis, memperkuat daya saing industri, dan mendukung pembangunan berkelanjutan dengan pasokan tenaga listrik ramah lingkungan (clean electricity supply)," ungkap Sugeng.
Dalam paparannya, Legislator NasDem itu mengatakan, meskipun rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 99%, namun hal tersebut masih berbasis desa. Padahal, rasio elektrifikasi harus berbasis pada keluarga agar dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif dan kuantitatif. Rasio kelistrikan di Indonesia per kapita termasuk rendah di kawasan ASEAN.
"Oleh karena itu, pada APBN mendatang, Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM mendapatkan anggaran tambahan untuk mendorong pelanggan baru kelistrikan yang tidak mampu," ujar Sugeng.
Terkait energi bersih, Sugeng mengatakan, dalam Paris Agreement, Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29%. Sedangkan pada tahun 2030 nanti dapat dinaikkan sampai 41% dengan kerja sama internasional.
"Sebagai penyumbang emisi, energi bersih dari sektor ketenagalistrikan adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Maka transisi energi harus direncanakan dengan baik agar pemanfaatan energi dapat maksimal terhadap lingkungan hidup. Dengan instrument kebijakan, energi baru dan terbarukan yang bersih dan berkelanjutan bisa didorong," papar Sugeng.
Legislator NasDem dari dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) itu menyebutkan, saat ini energi fosil tetap penting. Tapi kini sudah menjadi masalah. Selain dampaknya berakibat pada perubahan iklim, Indonesia juga tengah menghadapi tantangan luar biasa besarnya dari menurunnya cadangan minyak dan gas.
"Hal ini menjadi permasalahan bagi perekonomian Indonesia, karena konsumsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sudah dua kali lebih tinggi dibandingkan produksi minyak Indonesia per harinya. Kemudian impor minyak juga sangat membebani neraca perdagangan Indonesia yang tidak seimbang dan menjadi masalah bagi perekonomian kita," ungkap Sugeng.
Oleh karena itu, tambah Sugeng, salah satu langkah yang dapat diambil untuk mendukung Paris Agreement tersebut, diperlukan transisi energi primer seperti fosil menjadi energi ramah lingkungan, yakni menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) sesuai amanah PP No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Target bauran EBT pada tahun 2025 mencapai 23% dan pada tahun 2050 mendapai 31%.
"Ini sejalan dengan prioritas Komisi VII DPR RI yang sejak 2020 hingga 2021 ini dalam mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. RUU EBT ini merupakan salah satu RUU yang masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2021. Saat ini RUU EBT sudah diserahkan kepada Badan Legislasi DPR untuk proses harmonisasi," jelas Sugeng.
Sugeng Suparwoto juga mengatakan bahwa energi bersih adalah pintu utama dari pembangunan ekonomi berkelanjutan sebuah bangsa ke depan dan harus berkeadilan. Energi harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dan merata bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
"Pengembangan supergrid bisa menjadi solusi dalam pemerataan listrik di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Kita sudah mencapai titik point of no return dalam perubahan iklim dan penggunaan energi baru terbarukan adalah solusi konkrit untuk masa sekarang dan masa datang," pungkas Sugeng.(Opik/*)