JAKARTA (28 Juli): Perbenturan ideologi dan cara pandang menjadi kendala utama dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Baleg DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya dalam Diskusi Denpasar 12 bertajuk 'RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi) secara virtual, Rabu (28/7).
"Kendala tersebut bisa diselesaikan dengan dialog. Kedua belah pihak ingin memuliakan perempuan dan melindungi anak-anak dari orang-orang yang melakukan tindakan melanggar norma, adat, dan hukum," ujar Willy.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS itu mengatakan pihaknya harus melakukan sinkronisasi dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan karena kekerasan seksual termasuk tindak pidana khusus.
Menurut Willy, sampai saat ini belum ada payung hukum yang mengatur secara rinci terhadap tindak pidana kasus kekerasan seksual.
"Karena kekosongan payung hukum tersebut membuat aparat penengak hukum tidak bisa bertindak. Padahal keberadaan RUU PKS ini dapat memberikan legal standing terhadap kasus kekerasan seksual itu sendiri," kata Legislator NasDem tersebut.
Anggota Komisi XI DPR RI itu menilai, kekerasan seksual merupakan tindak pidana khusus yang belum diatur dalam KUHP sehingga akan diatur dalam RUU PKS.
"Panja RUU PKS sedang mempercepat proses penyusunan draf dan direncanakan pada awal Masa Sidang I Tahun Sidang 2021-2022 akan dipresentasikan naskah awal RUU tersebut," kata wakil rakyat dari dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu.
Willy juga mengatakan aparat penegak hukum harus memiliki perspektif korban, karena selama ini pendekatan aparat penegak hukum masih semata-mata kepada pelaku.
"Selama ini korban kekerasan seksual mendapatkan stigma dari aparat penegak hukum. Sehingga para aparat harus diberikan edukasi dan literasi sehingga dapat menangani kasus kekerasan seksual menggunakan perspektif korban," tambahnya.
Legislator NasDem itu meminta semua pihak untuk bersama-sama membangun bahwa literasi seksual itu menjadi hal yang sangat penting.
"Kita ini benar-benar melawan budaya feodalisme yang selama ini selalu meletakkan seksualitas sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan, didiskusikan, bahkan diundang-undangkan," tegasnya.
Dia menilai keberadaan UU PKS benar-benar memberikan perlindungan kepada korban, tidak hanya fokus kepada pelaku.
"Saya berharap RUU PKS ini segera disahkan dan bisa menjadi kado Hari Ibu (22 Desember) akhir tahun ini," pungkasnya.(HH/*)