JAKARTA (18 Juni): Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rachmat Gobel, mengatakan ada perbedaan yang nyata antara membangun pabrik dan membangun industri.
“Sama-sama ada bangunan dan ada pegawainya. Perbedaannya adalah pada pengembangan sumber daya manusianya. Itulah yang ada pada industri, dan itulah yang menjadi ciri praktik ekonomi Pancasila di perusahaan,” kata Gobel saat menjadi keynote speech pada acara diskusi dan bedah buku berjudul Praksis Pancasila; Penerapan Ideologi Pancasila di Perusahan Gobel, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (17/6/2025).
Diskusi itu menampilkan pembicara Dr. Husni Tejasukmana (Dekan FST), Prof. Dr. Syopiansyah Jaya Putra (Rektor Institut Teknologi Indonesia), dan Prof. Dr. JM Muslimin (Kepala Program Pascasarjana UIN Syahid). Sedangkan kata pengantar ditulis oleh penulis buku, Nasihin Masha.
Gobel mengatakan, membangun pabrik hanya mementingkan untung rugi. Jika rugi akan ditutup, lalu investor akan memindahkan pabriknya ke negara lain yang lebih menguntungkan. Sedangkan membangun industri, kata Gobel, harus membangun ekosistem, memikirkan keberlanjutan, dan yang paling penting adalah melakukan investasi di bidang sumberdaya manusia.
“Nah, transfer teknologi itu kuncinya pada pembangunan sumberdaya manusia, karena kuncinya ada pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jadi, membangun industri juga bukan sekadar menyediakan lapangan kerja, tapi harus ada transfer teknologi,” katanya.
Lebih lanjut Gobel menerangkan tentang perlakuan manajemen terhadap karyawan. “Di perusahaan Gobel berlaku prinsip memanusiakan manusia, bukan mempekerjakan manusia. Semuanya menjadi satu kesatuan sebagai satu keluarga,” katanya.
Prinsip lainnya, lanjut Gobel, ada doktrin yang menjadi keyakinan bahwa keuntungan dimulai oleh karyawan di level terbawah. “Dengan demikian ada kesetaraan antara direksi dan top management dengan pegawai terbawah. Jika sekadar cari untung, pimpinan perusahaan bisa utak-atik buku keuangan, tapi kemudian perusahaan menjadi runtuh. Dengan prinsip ini, serikat pekerja akan benar-benar mengawasi kinerja pimpinannya. Saya sebagai owner bisa dimarahi oleh presiden serikat pekerja,” kata generasi kedua perusahaan Gobel tersebut.
Dalam paparannya, Nasihin Masha menjelaskan nilai-nilai Pancasila telah dipraktikkan oleh Thayeb M. Gobel, pendiri perusahaan Panasonic Gobel Group. "Nilai-nilai Pancasila itu dijabarkan dalam Tujuh Prinsip Perusahaan,” katanya.
Prinsip-prinsip tersebut adalah berbakti kepada negara melalui industri, berlaku jujur dan adil, bekerja sama secara selaras, berjuang untuk perbaikan, ramah tamah dan kesatria, menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, serta bersyukur dan terima kasih.
Nilai-nilai itu, lanjutnya, dipraktikkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, upacara bendera setiap tanggal 17, ada forum Free Talk yang setiap karyawan bebas berbicara, ada daycare, fasilitas kesehatan, hubungan industrial Pancasila yang harmonis, pusat pengembangan sumberdaya manusia, koperasi, kesejahteraan karyawan, dan sebagainya.
“Semua itu sudah dilakukan sejak dekade 1970-an ketika belum ada reformasi dan belum ada isu HAM di Indonesia,” kata Nasihin.
Prof. Syopiansyah mengatakan, Thayeb M. Gobel telah menerapkan Pancasila secara nyata dalam korporasi melalui budaya perusahaan silih asih, silih asah, dan silih asuh. Selain itu juga mempraktikkan prinsip kebangsaan dengan mengejar transfer teknologi, mengurangi ketergantungan impor, meningkatkan kapabilitas nasional, dan akhirnya mencapai kemandirian nasional.
“Bukan sekadar ada aspek produksi dalam industry, tapi juga pembentukan nilai-nilai,” katanya.
Oleh karena itu, ia melihat apa yang dilakukan Thayeb M. Gobel bukan sekadar joint venture tapi menjadi joint vision dan ada kolaborasi yang setara dengan mitranya dari Jepang.
Prof. JM Muslimin mengatakan, Thayeb M. Gobel telah mencontohkan bagaimana membangun industri yang bertumpu pada kekuatan nilai, teknologi, dan kemandirian.
“Pancasila telah menjadi landasan fiolosif dan etika dalam membangun ekonomi nasional dan industri,” katanya.
Ekonomi, imbuhnya, bukan sekadar angka tapi yang utama adalah nilai dan arah, yang semuanya ada dalam Pancasila. (Nasihin/Yudis/*)