DENPASAR (23 Juni): Anggota DPR RI dari Dapil Bali, I Nengah Senantara, prihatin dengan kericuhan yang terjadi di arena sabung ayam (tajen) di Desa Songan, Kintamani, Bangli, yang menewaskan satu orang. Para pemimpin Bali diminta segera merespons kejadian tersebut dengan langkah konkret.
“Kalau hiburan itu sampai terjadi pembunuhan, itu bukan hiburan namanya. Untuk itu, pemimpin Bali harus bersikap segera, harus berbicara,” ujar Senantara, dalam keterangannya, Minggu (22/6/2025).
Tajen sejak dulu telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya masyarakat Bali, bahkan sejak zaman Majapahit. Menurut Senantara, tajen telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali dan tidak mungkin hilang begitu saja.
Ketua DPW Partai NasDem Bali itu mengusulkan agar para pimpinan Bali, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga kapolda, segera menggelar forum diskusi atau rembug daerah. Langkah itu penting untuk mencari solusi yang tepat.
Menurut Senantara, yang perlu dilakukan bukanlah menghapus praktik tajen secara keseluruhan, melainkan merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengelolanya agar tidak menimbulkan dampak negatif di masyarakat.
“Karena tajen itu susah untuk dihilangkan, tetapi bagaimana cara mengelolanya. Ini perlu kebijakan dari pimpinan Bali,” ungkap Senantara.
Sabung ayam di Bali memiliki tiga kategori utama. Pertama adalah Tabuh Rah, yakni sabung ayam yang menjadi bagian dari ritual keagamaan Hindu.
“Ini wajib dan harus ada. Biasanya hanya dilakukan dalam tiga set pertarungan, tanpa uang taruhan, semata-mata untuk keperluan upacara Yadnya,” jelasnya.
Kategori kedua adalah Tajen Terang, sabung ayam yang dilakukan secara terbuka dengan izin dari pihak adat dan aparat keamanan. Tajen jenis ini umumnya bertujuan untuk penggalian dana demi pembangunan desa adat atau pura.
“Orang-orang yang hadir biasanya dari lingkungan sekitar, dan mengenakan pakaian adat madya. Bukan untuk berjudi, tapi untuk memberikan sumbangan kepada desa adat yang sedang membangun,” paparnya.
Kategori ke tiga adalah Tajen Branangan, tajen ilegal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat terpencil dan berorientasi pada perjudian murni. Menurut Senantara, tajen jenis inilah yang paling berbahaya dan perlu pengawasan ketat.
“Orientasinya cari untung, cari menang, dan taruhannya pun luar biasa tinggi, bisa ratusan juta,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Senantara menilai bahwa dua jenis tajen, yaitu untuk kepentingan yadnya dan pembangunan desa, sebaiknya difasilitasi secara legal dan resmi. Ia bahkan mengusulkan pembentukan peraturan daerah (perda) khusus untuk mengatur kedua bentuk tajen tersebut agar dapat dikelola dengan baik serta memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kalau ini bisa dikontrol dengan baik, bahkan bisa membantu desa mandiri secara ekonomi. Negara bisa lebih ringan bebannya, bansos tak harus masuk ke desa lagi karena desa sudah bisa memutar ekonominya sendiri,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR itu menilai dialog terbuka dengan berbagai elemen masyarakat sangat penting dilakukan sebelum mengambil keputusan besar terkait praktik tajen. Pemerintah daerah bersama aparat keamanan perlu duduk bersama tokoh masyarakat, tokoh hukum, tokoh agama, tokoh budaya, serta para pelaku tajen untuk membahas arah kebijakan Bali ke depan secara menyeluruh dan inklusif.
“Sebelum membuat satu keputusan, alangkah bagusnya bupati, wali kota, gubernur, termasuk kapolda melakukan diskusi terbuka bersama tokoh-tokoh masyarakat, tokoh hukum, agama, budaya, dan para pelaku tajen. Kita ajak diskusi, mau dibawa ke mana Bali ke depan?” katanya.
Menurut Senantara, solusi terbaik harus mengutamakan pelestarian budaya sekaligus meminimalkan dampak negatif. Ia menegaskan bahwa tajen untuk keperluan adat dan agama wajib difasilitasi karena tidak mengandung unsur perjudian.
Sementara itu, tajen terang harus diatur dengan jadwal dan mekanisme yang jelas oleh adat. Adapun tajen branangan perlu dipertimbangkan apakah akan dilarang sepenuhnya atau diberikan pengaturan khusus tergantung kebijakan pemerintah daerah.
“Sekali lagi, Tajen memang susah untuk dihilangkan, karena merupakan warisan dari nenek moyang kita sejak zaman Majapahit. Tapi bukan berarti tak bisa diatur. Tugas kita adalah mencari jalan terbaik untuk mengelola warisan ini secara bijak,” pungkasnya. (*)