Berita

Nasdem Nilai Revisi UU BUMN Tabrak Norma Hukum

Jakarta, 11 Desember 2018. Kritik keras dilontarkan Fraksi Nasdem atas Revisi Undang-Undang BUMN yang diinisiasi oleh DPR. Dalam pandangan Fraksi Nasdem, UU BUMN tersebut tidak saja menabrak norma hukum secara yuridis di satu sisi, tetapi juga potensial mematikan gerak dinamis BUMN secara bisnis di sisi lain. Bahkan indikasi masuknya agenda dan kepentingan politik subjektif (vested interest) juga terasa sangat kental.

“Sejatinya Fraksi Nasdem dapat memahami nilai penting revisi UU BUMN untuk menyesuaikan kembali sejumlah hal strategis dalam kinerja, postur dan kinerja BUMN. Tetapi dalam perjalananya, Nasdem menilai bahwa DPR sudah terlalu jauh melenceng dari semangat awal RUU BUMN itu diajukan,” kata Ketua Fraksi Nasdem Ahmad HM Ali,.

Ada sejumlah alasan mendasar dan krusial yang membuat Fraksi Nasdem menyorot keras rancangan revisi UU BUMN.

“Pertama, DPR sebagai lembaga representasi rakyat seharusnya lebih peka dan mengindahkan kritik publik atas kinerja DPR. Tidak saja soal kuantitas regulasi, tetapi terutama kualitas regulasi yang dihasilkan,” lanjut Ahmad Ali.

Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/12/2018) Ahmad Ali juga menjelaskan pandangannya mengenai sejumlah aturan yang diusulkan dalam RUU BUMN sudah terlalu jauh masuk pada domain eksekutif.

“Otomatis hal tersebut menabrak norma hukum yang berlaku sehingga potensial ditolak oleh MK. Ujung-ujungnya, publik akan makin meragukan kredibiltas DPR sebagai inisiator RUU ini. Karena, lagi-lagi menghasilkan UU yang tidak berkualitas” kata anggota DPR dapil Sulawesi Tengah ini.

Ahmad Ali mencontohkan tentang kewenangan DPR dalam ikut menentukan keputusan terkait aksi korporasi BUMN. Aksi korporasi seperti sejatinya merupakan kalkulasi bisnis rasional yang harus mendapat persetujuan DPR, dan setelahnya baru dapat dibuat menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Padahal dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, DPR tak berwenang dalam hal pembentukan peraturan pemerintah.

“Kewenangan DPR yang terlampau besar dalam urusan BUMN ini membawa komplikasi yang ruwet, dimana perkara yang murni bisnis menjadi perkara politik,” tegasnya.

Di sisi lain, besarnya kewenangan DPR yang berdampak pada pergeseran urusan bisnis menjadi perkara politis ini otomatis akan menjerat langkah BUMN sendiri untuk bergerak lebih dinamis dalam kinerjanya sebagai korporasi. Ekspansi bisnis, bahkan oleh anak-anak perusahaan BUMN sendiri, akan menghadapi interupsi oleh dinamika pembahasan di DPR.

Dalam penuturannya, Ahmad Ali juga menerangkan bahwa besarnya kewenangan DPR tersebut juga memberikan dampak komplikasi kembali kepada DPR. Karena pengertian BUMN dalam RUU tersebut adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara, baik melalui penyertaan langsung dan tak langsung, berasal dari APBN maupun non-APBN, maka perusahaan yang berstatus anak perusahaan BUMN akan beralih menjadi BUMN.

“Bisa dibayangkan, besarnya kewenangan DPR dalam kondisi peralihan status anak-anak perusahaan BUMN, yang berubah menjadi BUMN, yang jumlahnya ratusan itu. DPR sedang membuat jebakan untuk dirinya sendiri, jika DPR memiliki kewenangan untuk memilih dewan direksi dan komisaris untuk BUMN yang jumlahnya ratusan itu,” lanjutnya.

Bahkan dalam pandangan Ahmad Ali, kondisi ini bisa membuat DPR menghabiskan waktu hanya untuk memilih dan menentukan direksi dan komisaris BUMN saja.

“Pergeseran urusan bisnis menjadi urusan politik ini membuka peluang terjadinya aksi berburu rente (rent seeking), yang berdampak pada BUMN kembali menjadi sapi perah seperti di masa-masa sebelumnya. Jadi, atas dasar itu dan terutama menyelamatkan marwah DPR sendiri sebagai lembaga, Fraksi Nasdem dengan tegas menolak RUU BUMN,” tegas Ahmad Ali. []


Share: