JAKARTA (25 November): Lompatan teknologi memudahkan masuknya berbagai macam ideologi yang mempengaruhi masyarakat. Sedangkan pelestarian nilai-nilai kebangsaan sangat dibutuhkan untuk menyikapi kondisi saat ini.
"Sejumlah nilai-nilai kebangsaan kita sebenarnya sudah tercakup dalam Empat Konsensus Kebangsaan yang bisa menjadi jawaban untuk menghadapi kondisi saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bekerja sama dengan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia, dengan tema Pemahaman Nilai Penting Warisan Budaya Dalam Penguatan Kebangsaan, Rabu (25/11).
Diskusi yang dimoderatori Arief Adi Wibowo, dosen Ilmu Komunikasi UI itu menghadirkan Mundardjito, Guru Besar Arkeologi FIB UI yang membawakan pengantar diskusi dan Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Supratikno Rahardjo, arkeolog serta Suraya Afiff, antropolog, sebagai narasumber.
Diskusi yang digelar secara daring dan luring itu juga dihadiri sejumlah pakar arkeologi, budayawan dan akademisi sebagai pembahas.
Menurut Lestari, Empat Konsensus Kebangsaan yakni UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, memiliki nilai-nilai yang bersumber dari budaya masa lalu dalam peradaban bangsa.
Nilai kebhinekaan, gotong-royong dan berbagai nilai-nilai luhur lainnya, menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, merupakan sejumlah nilai yang diwarisi para leluhur bangsa.
Nilai-nilai tersebut, jelas Legislator NasDem itu, hingga saat ini masih relevan untuk dijadikan jalan keluar dari sejumlah problem yang dihadapi bangsa saat ini.
Anggota Komisi X DPR RI itu berharap para cendekiawan dan pakar budaya dapat ikut menggali nilai-nilai budaya dari berbagai macam warisan budaya yang ada, agar bisa bermanfaat bagi kehidupan berbangsa saat ini.
Guru Besar Arkeologi FIB UI, Mundardjito menilai sejumlah peraturan terkait budaya dan kebudayaan yang ada saat ini belum memiliki peraturan teknis pelaksanaannya. Sehingga, upaya pemanfaatan nilai-nilai warisan budaya masa lampau untuk memperkuat nilai kebangsaan saat ini belum optimal.
Menurut Mundardjito, makna warisan budaya masa lalu harus terus diperbarui, agar bisa dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan saat ini. "Berbagai disiplin ilmu bisa bersama-sama untuk memaknai peninggalan sejarah yang ada," ujarnya.
Upaya melestarikan budaya, tegas Mundardjito, bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi lebih dari itu untuk keberlanjutan kehidupan generasi bangsa di masa datang.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian berjanji untuk ikut mendorong tuntasnya pengaplikasian sejumlah aturan terkait kebudayaan, agar aturan tersebut dapat efektif dan bermanfaat.
Sedangkan pakar arkeologi, Supratikno Rahardjo prihatin atas banyaknya situs cagar budaya di Indonesia yang rusak, akibat belum adanya aturan perundangan yang efektif mencegah hilangnya situs cagar budaya.
Antropolog, Suraya Afiff, berpendapat, warisan budaya sangat sentral dalam pembangunan sebuah bangsa.
Menurut Suraya, warisan budaya tidak hanya berbentuk benda, tetapi juga sikap dan nilai dalam pola pikir dalam melihat warisan budaya.
Candi Borobudur misalnya, tambah dia, bukan semata warisan budaya dalam bentuk bangunan. Lebih dari itu, ujar Suraya, juga nilai-nilai budaya di balik hadirnya candi tersebut. Cara pandang untuk menggali nilai-nilai budaya tersebut, harus disosialisasikan untuk memperkaya cara pandang masyarakat saat ini.[*]