Berita

Data masih Jadi Masalah Penyaluran Subsidi Energi

PADALARANG (5 Desember): Akar masalah penyaluran subsidi energi salah satunya adalah data. Seharusnya di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi, persoalan data tidak lagi menjadi persoalan, mengingat dengan adanya single identity number pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dapat dijadikan langkah awal pembuatan big data.

Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI dari Fraksi NasDem, Sugeng Suparwoto mengemukakan hal itu seusai menyerap aspirasi masyarakat terkait kebijakan pengelolaan subsidi energi, di Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (4/12).

“Mestinya nanti ada sebuah data yang disebut big data yang komprehensif yang menyatakan bahwa si Sugeng, misalnya, itu keluarganya sekian. Kalau ia termasuk dalam kategori miskin dia akan mendapat subsidi tentang A,B,C atau D yang secara kuantitatif sekian rupiah,” jelas Sugeng yang juga Ketua Komisi VII DPR RI itu.

Legislator NasDem asal Jawa Tengah VIII (Kab Cilacap, Banyumas) itu sepakat bila subsidi kelak diberikan dalam bentuk kartu, dalam artian yang disubsidi adalah orangnya bukan barangnya.

“Ada kelemahan kalau subsidi diberikan dalam bentuk tunai kepada orang. Kadang-kadang tidak efisien juga tidak tepat penggunanaan atas apa yang disubsidi itu,” ungkapnya.

Di masa krisis dampak dari pandemi Covid-19 ini, tambah Sugeng, angka kemiskinan meningkat maka subsidi masih sangat penting. Dia menekankan sekarang seharusnya lebih tepat sasaran, tepat volume dan tepat waktu. Salah satu usul yang mengemuka terkait penyaluran subsidi adalah menggunakan kartu yang berisikan saldo dan diatur mekanisme pencairannya.

“Tadi ada yang menyarankan dengan kartu. Misalnya kartu itu secara efektif untuk membeli gas oleh pemegangnya. Secara otomatis saldo akan berkurang sesuai dengan subsidi yang ada. Tetapi bagi orang yang tidak memegang kartu, maka dia akan membayar dengan harga keekonomian sesuai harga pasar,” tuturnya.

Lantas bagaimana kalau kartu itu dipegang banyak orang? Untuk itu, jelas Sugeng, perlu dibuat standar atau batasan. Misalnya seminggu seseorang bisa membeli berapa. Kalau seminggu keluarga itu membutuhkan 5 tabung elpiji 3kg, hanya akan mendapatkan 5 tabung, setelah itu dia tidak bisa membeli lagi gas pakai kartu itu.

"Ini pendekatan-pendekatan teknis yang lain yang akan kita pikirkan,” tutup Sugeng.(dpr.go.id/*)

Share: