JAKARTA (30 Juni): Rangkaian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi seharusnya mengusik rasa malu dan menodai integritas para pemangku kepentingan di negeri yang menjunjung tinggi hak azasi manusia ini.
"Kekerasan seksual saat ini banyak sekali bentuknya, baik fisik maupun nonfisik. Sedangkan aturan yang ada belum menjangkau sejumlah bentuk kekerasan seksual tersebut," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertajuk Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, di Jakarta, Rabu (30/6).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu menghadirkan Barita Simanjuntak, (Ketua Komisi Kejaksaan), Taufik Basari, (Anggota Badan Legislasi DPR RI), Azriana R Manalu (Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019), dan Lucky Endarwati, (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir Amelia Anggraini (Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem), Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI), Kania Sutisnawinata (CEO Medcom.id) dan Yunianti Chuzaifah (Aktivis Gender dan HAM) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sejatinya untuk mengatasi kendala aturan yang belum menjangkau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut.
Penuntasan pembahasan RUU PKS menjadi undang-undang, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, harus didukung dalam bentuk political will dari semua pihak.
Bila tidak ada usaha yang luar biasa dalam mendorong RUU PKS menjadi undang-undang, kata Legislator NasDem itu, upaya mengejar ketertinggalan di bidang hukum untuk menjawab permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan tahun ini akan terganggu.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan aktif merealisasikan UU PKS, untuk meningkatkan peran negara dalam menangani sejumlah kasus hukum terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Rerie menegaskan kita harus bersatu dalam satu gerakan bersama untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Tanah Air.
Azriana Manalu berpendapat kejahatan kekerasan seksual berkembang pesat, karena belum adanya mekanisme hukum yang memadai untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Menurut Azriana, sejumlah kekerasan seksual juga berusaha diatasi lewat instrumen hukum di tingkat daerah, seperti peraturan daerah (Perda).
Namun, ujar Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019 itu, seringkali perangkat hukum di tingkat daerah malah menciptakan salah kaprah dan tidak membuat efek jera terhadap para pelaku kekerasan seksual.
Sedangkan Taufik Basari mengungkapkan, saat ini pihaknya menunggu badan kajian untuk memperkaya draf RUU PKS.
Menurut anggota Badan Legislasi DPR RI itu, pihaknya sedang mengagendakan sejumlah pertemuan untuk mendapat masukan dari berbagai pihak, seperti ulama perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya.
Di masa persidangan mendatang, ujar anggota Komisi III DPR Fraksi Partai NasDem itu, Badan Legislasi DPR akan masuk pada substansi pembahasan RUU PKS.
Selain itu, Taufik berpendapat, harus ada langkah-langkah masif di berbagai lini untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebagai misal di bidang pendidikan terkait perspektif gender, advokasi, penegakan hukum dan legislasi.
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak berpendapat, kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak saat ini memasuki situasi yang genting.
Bila tidak ada langkah signifikan untuk mewujudkan UU PKS, kata Barita, negeri ini akan dipermalukan dengan sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus terjadi.
‘’Diperlukan gerakan yang masif agar wakil rakyat segera memberi keputusan terkait RUU PKS menjadi undang-undang,’’ katanya.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini berpendapat, kekerasan terhadap perempuan di negeri ini merupakan fenomena gunung es.
Amelia yakin masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini. Diperlukan sosialisasi yang masif, untuk menyadarkan semua pihak, terkait maraknya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Bila perlu, tegas Amelia, penguatan cara pandang berperspektif gender dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional.
Sedangkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan yang harus dibenahi bukan hanya aturan hukum, tetapi juga kultur. Karena, tegas Asfinawati, kekerasan terhadap perempuan lahir dari cara pandang bias gender masyarakat terhadap perempuan.(*)
