Berita

RUU PKS Alot, Salah Memahami Substansi

JAKARTA (22 Juli): Anggota Fraksi NasDem DPR RI, Taufik Basari menilai salah satu masalah terbesar lambatnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah adanya kesalahpahaman.

"Kesalahpahaman yang dimaksud yaitu RUU PKS dianggap properzinahan, aborsi, dan lainnya," ujar Taufik dalam diskusi Denpasar 12 dengan topik 'Mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Prolegnas 2021' secara virtual, Rabu (21/7).

Menurut anggota Komisi III DPR RI itu, poin-poin dalam RUU PKS adalah poin yang berdasarkan data, fakta, dan pengalaman selama ini dalam menangani, menghadapi, mendampingi kasus-kasus kekerasan seksual.

"Kita berangkat dari fakta adanya kasus kekerasan seksual, belum efektifnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, perspektif aparat yang belum berpihak terhadap para korban kekerasan seksual, aturan hukum yang belum memadai, serta kurangnya peran negara untuk melakukan pencegahan, pendidikan, dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual," jelasnya.

Berdasarkan fakta-fakta yang menjadi pengalaman para pendamping kasus transeksual, sambung Legislator NasDem itu, kemudian dirumuskan menjadi subtansi dari draf RUU PKS.

Namun, naskah akademik dan RUU yang dibahas sejak periode lalu dan coba diperbaharui pada periode sekarang, muncul isu miring terkait RUU PKS tersebut.

"Pada awal periode ini muncul hal-hal yang dibelokkan kepada sesuatu yang tidak relevan dengan subtansi yang ingin diatur dalam RUU ini," terangnya.

Lebih lanjut, Legislator NasDem dari dapil Lampung I (Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus, Pesawaran, Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Pringsewu, Pesisir Barat) itu menilai pembahasan RUU PKS dari periode lalu menjadi ajang 'tarung ideologis'.

"Karena, selama ini yang mendorong, mengusung, mengkampanyekan RUU PKS ini adalah teman-teman yang bergerak di gerakan perempuan. Maka ada beberapa pihak yang merasa terganggu dengan apa yang selama ini diperjuangkan," ujarnya.

Seperti, kata Taufik, perjuangan keadilan gender, perjuangan tentang hak-hak perempuan, perjuangan antidiskriminasi gender, perjuangan melawan perspektif patriarki dalam politik dan kebijakan, serta perjuangan hak asasi manusia.

"Hal itulah yang kemudian membuat pihak yang merasa tidak cocok dengan perjuangan seperti ini akhirnya menjadikan RUU PKS sebagai tempat untuk menjadi ajang mempertarungan persoalan itu," tegasnya.

Akhirnya, lanjut Taufik, pihak tersebut berupaya menarasikan bahwa RUU PKS sebagai produk konspirasi hegemoni budaya barat yang tidak sesusai dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan sebagainya.

"Padahal RUU PKS tidak ada hubungannya dengan narasi tersebut. Namun fatalnya, banyak orang yang menerima narasi itu begitu saja sehingga berpandangan bahwa RUU PKS seperti yang dituduhkan," jelasnya.

Untuk itu, Taufik mengajak semua pihak untuk terus membantu menyosialisasikan terkait isu-isu RUU PKS.

"Jadi ini yang menurut saya tugas kita bersama untuk memulai meluruskan kesalahpahaman yang terjadi," pungkasnya.(HH/*)

Share: