JAKARTA (27 Juli): Sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi jalan bagi Indonesia untuk menarik investasi asing agar bangkit dari keterpurukan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan sekitar US$13 triliun potensi di sektor EBT global. Menurutnya, ini bisa menjadi potensi bagi Indonesia.
Apalagi saat ini Indonesia memerlukan investasi asing langsung, yang menurut Sugeng tersebar di mana-mana. Selain itu banyak lembaga pembiayaan dan perbankan yang juga mengalihkan pendanaan dari energi fosil ke ramah lingkungan.
"Indonesia mau bangkit pasca Covid-19. Satu-satunya jalan adalah dari investasi EBT," ujar Sugeng dalam acara Media Group News Summit Series bertajuk Indonesia Green Summit 2021, Senin (26/7).
Legislator NasDem itu mengatakan, berdasarkan survei The International Renewable Energy Agency (Irena), investasi hijau dan EBT dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) atau bahkan pertumbuhan hingga 3-8 kali dari pada investasi konvensional lainnya.
"Artinya ini sebuah jalan agar kita bangkit dari keterpurukan Covid-19," ujar Sugeng.
Indonesia saat ini tengah mengembangkan dan meningkatan bauran EBT dalam energi nasional. Indonesia menargetkan bauran EBT 31%persen di tahun 2025.
Berdasarkan perhitungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2016, untuk mencapai target tersebut dibutuhkan 45 ribu megawatt (MW). Hingga akhir 2020, kapasitas terpasang listrik EBT di Tanah Air yakni sekitar 10.400 MW.
"Kita memerlukan kurang lebih US$6 miliar per tahun," tutur Sugeng.
Legislator NasDem itu menambahkan untuk bisa menarik investasi dalam mengembangkan EBT, dibutuhkan insentif dan disinentif agar lebih bergairah. Pasalnya hingga kini pengembangan EBT dinilai terbilang mahal.
Insentif perlu diberikan untuk mengurangi beban pengembang EBT. Sementara disinsentif perlu diberikan bagi penyumbang karbon dan emisi salah satunya pengguna energi fosil.
"EBT hanya bisa berkembang kalau ada insentif dan disinsentif. Tanpa itu tidak akan mencapai titik ekuilibrium (keseimbangan), sampai kapanpun tidak akan bisa karena EBT masih dianggap mahal," ucap Sugeng.
Ia mencontohkan saat ini insentif justru diberikan pada energi primer yang notabene menyumbang karbon tertinggi. Contohnya solar karena memiliki RON yang rendah. Insentif diberikan dalam bentuk subsidi. Demikian juga batu bara yang juga menyumbang emisi tinggi.
"Ke depan subsidi ini harus diberikan kepada yang bersih dan terbarukan. Paradigma tersebut harus di balik," jelas wakil rakyat dari dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) tersebut.(medcom/*)