JAKARTA (1 September): Indonesia sudah masuk dalam kondisi darurat kebocoran data pribadi. Ini dibuktikan dengan kasus kebocoran data pribadi yang meningkat secara kuantitas. Oleh karena itu kebutuhan akan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan otoritas perlindungan data independen sangat tinggi.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Nasib RUU Pelindungan Data Pribadi" di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (31/8).
“Awalnya kebocoran dari pihak swasta, Bukalapak, Tokopedia, tetapi kemudian data BRI Life yang bocor, juga BPJS, apalagi kemudian keluar berita di Kemenkes yang juga soal kebocoran e-HAC," ungkap Farhan.
Legislator NasDem itu mengatakan, semua pihak merasa sangat khawatir dengan bocornya data eHac, karena artinya lembaga penguasa data tidak melakukan perlindungan yang memadai untuk data pribadi yang tersimpan.
"Kita akan meminta penguasa data, segera menjelaskan kepada publik bagaimana mitigasi mereka terhadap kejadian bocor data ini," tukas Farhan.
Wakil rakyat dari dapil Jawa Barat I (Kota Cimahi, Kota Bandung) itu juga mengatakan, DPR bersama Kemenkominfo akan melakukan kerja sama yang erat untuk memastikan bahwa kebocoran seperti ini tidak menguap begitu saja.
"Harus ada pejabat yang bertanggung jawab atas kejadian ini," tegasnya.
Farhan menambahkan, RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP) itu ingin melahirkan sebuah profesi baru yaitu data protection officer, yang akan membantu para penguasa data untuk mengelola penyimpanan, penguasaan dan pengolahan data pribadi agar sesuai dengan UU.
“Bisa juga lembaga atau protection officer ini dalam posisi di level sebuah perusahaan atau lembaga. Kalau diperbankan bisa kita samakan dengan direktur compliance dan mitigasi risiko. Jadi, ini posisi yang sangat tinggi, karena kalau sampai salah dalam penguasaan dan pengelolaan data pribadi, maka ada sanksi yang menarik di RUU PDP, akan ada denda yang sangat besar," jelasnya.
Meski menargetkan RUU PDP disahkan tahun ini, akan tetapi soal keberadaan lembaga independen pelindungan data masih menjadi perdebatan. Ia mengatakan, jika otoritas pelindungan data pribadi harus ada induknya, maka diperlukan sebuah lembaga yang punya otoritas yang kuat. Farhan menilai mimpinya bisa seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Artinya, kalau kita semua sepakat mau membangun sebuah lembaga independen di bawah Presiden untuk pelindungan data, maka kita akan menuntut Presiden dan Menteri Keuangan. Tentunya, memberikan komitmen yang kuat untuk pelindungan data pribadi, minimal sekuat KPK secara politik dan minimal seperti OJK secara anggaran. Sisi lain, ada pragmatisme dan skeptisme yang harus kita jaga sebagai bentuk realistis, kalau kita buat lembaga di bahwa Presiden. Independen seperti OJK, butuh waktu berapa lama?" katanya.
Legislator NasDem itu menambahkan, begitu daruratnya kondisi pelindungan data di Indonesia, yang paling realistis adalah usulan Kominfo terkait badan otoritas pengawas data pribadi. Sebab, jika memaksakan lembaga independen sejak awal, maka akan butuh tiga hingga lima tahun agar lembaga tersebut mulai bekerja dengan efektif.
“Bahwa, nanti dalam perkembangan berikutnya kita lakukan evaluasi lembaga ini makin lama makin besar, sehingga nanti bisa menyaingi keberadaan Kominfo, ya boleh dipecah, persis seperti BI dan OJK. Jadi yang saya tawarkan di sini adalah sebuah narasi tentang pragmatisme dan idealisme, keduanya bagus. Kita harus memilih dengan konsekuensinya masing-masing," tandas Farhan.(RO/*)