JAKARTA (11 Mei): Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI, Willy Aditya meminta Mahkamah Konstusi (MK) melihat sistem pemilu dalam koridor konstitusi. MK pernah memutus sistem pemilu dari tertutup menjadi terbuka dan menyerahkan masalah ini kepada DPR sebagai pembuat undang-undang.
Hal itu disampaikan Willy merespons sidang gugatan UU Pemilu terkait sistem pemilu proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (9/5).
Dalam sidang lanjutan dengan agenda mendengar keterangan ahli, Hakim MK Arief Hidayat mengatakan sistem pemilu bisa diubah di waktu injury time menjelang pelaksanaan pemilu. Sebagai contoh, perubahan sistem pemilu dari tertutup menjadi terbuka pada 2008.
"Hakim MK harus melihat dalam koridor konstitusi. Ini, kan, materi muatan yang sudah pernah diputus oleh MK sendiri," kata Willy di Nasdem Tower, Jakarta, Rabu (10/5).
Willy mengingatkan MK agar sebaiknya tidak merusak demokrasi di Indonesia dengan mengganti sistem pemilu. Ia menganalogikannya layaknya mobil yang berjalan dengan kecepatan 120 km/jam, kemudian pengemudi tiba-tiba menarik rem tangan, maka akan membuat oleng dan terjadi kecelakaan.
"Kami melihat pendapat DPR itu terbuka, pendapat pemerintah juga terbuka. Maka jangan neko-neko dengan bermain api. Hal ini bisa merusak sistem demokrasi yang sudah ada," tegas Willy.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR ini menyampaikan pembuat kebijakan seharusnya memiliki kacamata yang komprehensif. Menurutnya, isu ini dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memundurkan sistem demokrasi di Indonesia.
"Justru ini membuat provokasi. Kalau saya menduga ini adalah operasi intelijen untuk dibuat seolah-olah terjadi kerusuhan. Tidak boleh ya, kita ikuti saja dengan yang ada," tandasnya.
Willy mengatakan gugatan ini adalah ujian kematangan negara dalam berdemokrasi untuk melahirkan negarawan. Dia berharap para pembuat kebijakan tidak terjebak, melainkan harus memiliki perspektif detail dan komprehensif.
Menurutnya, jika sistem pemilu diganti menjadi proporsional tertutup, maka yang bertanding bukan wakil rakyat, namun wakil elite partai. Hal tersebut mencederai kedaulatan rakyat.
"Pemimpin yang memiliki perspektif komprehensif yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini," tutupnya.
Sistem pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat ke MK karena dianggap bertentangan dengan UUD. Para penggugat adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Para pemohon mendalilkan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik, namun mewakili diri sendiri. (medcom/*)