Berita

Pemerintah Kebobolan, Ratusan Ribu PMI Masuk Arab Saudi saat Moratorium

JAKARTA (29 April): Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi, mengkritik masuknya ratusan ribu pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal ke Arab Saudi di tengah moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara-negara Timur Tengah. Nurhadi menilai atase ketenagakerjaan (atnaker) di Arab Saudi kebobolan terkait persoalan itu. 

Nurhadi menyebut, sejak diberlakukannya moratorium pada 2015, sebanyak 183 ribu PMI tetap berangkat secara ilegal ke Arab Saudi, termasuk 25.000 orang sepanjang 2024.

"Sudah jelas-jelas ada moratorium, tapi kok masih ada ratusan ribu yang berhasil berangkat secara ilegal? Ini artinya ada sistem yang lemah, ada kebobolan serius!” ungkap Nurhadi dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Kepala BP2MI, Abdul Kadir Karding, di Gedung  Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).

Nurhadi pun mempertanyakan efektivitas fungsi pengawasan oleh atase tenaga kerja di Arab Saudi. Pasalnya, angka PMI ilegal yang nekat berangkat mencapai puluhan ribu per tahun. 

"Kalau begini faktanya, sebenarnya apa tugas dan fungsi atase tenaga kerja di Arab Saudi? Kok bisa kebobolan sebanyak ini?” tutur legislator dari Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar) itu.

Oleh karenanya, Nurhadi meminta penjelasan terkait aturan yang paling rentan dibobol. Ia mempertanyakan mana aturan yang berpotensi terjadinya pengiriman PMI secara nonprosedural dalam jumlah besar, meskipun sudah ada moratorium.

"Bagaimana mungkin di tengah moratorium yang bertahun-tahun ini kita kebobolan sampai ratusan ribu PMI? Sekali lagi aturan mana yang rentan sehingga bisa dibobol? Karena pengiriman ilegal ini terus terjadi," tegasnya. 

Anggota Komisi IX DPR yang salah satunya membidangi ketenagakerjaan, menyinggung keberadaan 183 ribu PMI nonprosedural yang saat ini bekerja di Arab Saudi. Nurhadi mempertanyakan langkah yang akan ditempuh pemerintah terhadap PMI yang sudah terlanjur ada di Arab Saudi bila moratorium pengiriman PMI ke negara itu benar-benar dicabut.

"Terkait 183 ribu PMI yang ada di Arab Saudi secara unprosedural sebelum moratorium ini dicabut, bagaimana nasib mereka? Apakah mereka bisa langsung mendapat perlindungan? Di-upgrade lewat melegalisasi dengan aturan baru?” tanya Nurhadi. 

Pemerintah berencana mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Wacana itu dibarengi dengan klaim bahwa Arab Saudi membuka kuota untuk 600 ribu pekerja Indonesia dengan jaminan gaji lebih dari Rp6,5 juta untuk setiap pekerja.

Jika moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi dicabut, pemerintah Indonesia bisa meraup Rp31 triliun dari remitansi. Meski begitu, wacana itu masih menuai pro dan kontra mengingat masih banyak kasus terkait PMI di Arab Saudi yang belum terselesaikan, termasuk banyaknya kasus hukum dan kasus-kasus kekerasan yang menimpa PMI di sana.

Nurhadi pun menekankan pentingnya kejelasan nasib dan perlindungan bagi seluruh PMI, termasuk pekerja migran Indonesia yang masuk ke Arab Saudi melalui jalur nonprosedural.

“Apakah itu akan tetap dibiarkan tanpa status perlindungan hukum?” ungkap Nurhadi. 

Selain soal wacana pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi, Rapat Kerja Komisi IX DPR juga membahas penguatan tata kelola perlindungan PMI, peran atase ketenagakerjaan, hingga upaya perlindungan PMI korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di berbagai negara.

Nurhadi menegaskan bahwa perlindungan PMI adalah kewajiban negara yang harus dijalankan secara serius, bukan hanya formalitas administratif belaka.

"Harap ini menjadi perhatian serius pemerintah untuk melindungi pekerja migran kita," pungkasnya. (Rizal/*)

Share: