Berita

Ning Dini: Penyelenggaraan Haji yang Buruk Coreng Nama Negara

JAKARTA (19 Mei): Tahun 1446 Hijriyah atau 2025 adalah salah satu tahun penyelenggaraan haji dengan tantangan paling kompleks dan keluhan yang luar biasa deras dari jemaah, baik dari segi pelayanan, sistem, maupun komunikasi.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Dini Rahmania, mendukung upaya perbaikan penyelenggaraan haji. Namun dia tetap mengkritik penyelenggara haji dalam beberapa hal yang dinilai sebagai kesalahan yang terus berulang. Penyelenggara bukan hanya dituntut untuk melayani, tapi juga menjaga kepercayaan umat.

"Pelayanan haji adalah cermin kehormatan negara. Jika jemaah kita tersesat, tidak terurus, atau bahkan merasa ditelantarkan, maka yang tercoreng bukan hanya Kemenag (Kementerian Agama), tapi negara kita," ujar Dini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR dengan Ditjen Penyelenggara Haji dan Umroh Kemenag, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Ning Dini, sapaan Dini Rahmania, mengkritik sistem syarikah (kerja sama) penyedia layanan yang masih terdapat banyak kekacauan. Mulai dari jemaah dipisahkan dari keluarga, pendamping lansia tidak bersama jemaah, dan pemilihan hotel tanpa koordinasi yang baik.

"Ini sistem syarikah atau sistem semrawut? Jika sejak 2022 sistem ini diperkenalkan, kenapa baru sekarang muncul kekacauan? Ini bukan hanya soal sistem luar negeri, tapi soal mitigasi internal. Artinya, Kemenag perlu introspeksi, bukan sekadar menyalahkan pihak luar," tandasnya. 

Legislator dari Dapil Jawa Timur II (Probolinggo dan Pasuruan) itu mendapat laporan bahwa hingga hari evakuasi ke Makkah, masih ada ribuan jemaah yang belum menerima kartu nusuk (identitas digital). 

"Padahal, kita semua tahu kartu ini penting untuk akses layanan. Jangan sampai jemaah kita menjadi korban sistem yang kita sendiri tidak kuasai sepenuhnya," imbuhnya.

Selanjutnya terkait pelayanan di lapangan yang menurut Ning Dini, bukan hanya masalah teknis. Mulai dari hotel yang belum siap, bus salah jemput, hingga jemaah tersesat. 

"Ini menyangkut rasa aman dan martabat jemaah kita. Haji bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal pelayanan yang bermartabat," tegasnya.

Ning Dini juga mempertayakan standar distribusi secara nasional, buku manasik dan buku doa. Dibeberapa daerah dikirimkan versi cetak, sementara di daerah lain dikirim versi digital. 

"Saya menerima keluhan dari beberapa daerah, termasuk Probolinggo dan Sidoarjo. Di satu tempat, buku dibagikan dalam bentuk cetak. Di tempat lain, hanya dikirim PDF. Kita bicara soal jemaah lansia, tidak semua akrab dengan teknologi. Apakah Kemenag punya standar distribusi nasional yang jelas?" ungkapnya.

Lebih lanjut Ning Dini menekankan, terbentuknya Badan Pelaksana Haji jangan hanya seolah badan yang berganti nama. Masyarakat perlu perubahan sistemik terkait penyelenggaraan ibadah umat muslim tersebut. 

"Maka sejak sekarang, saya minta Kemenag berani membuka diri, melakukan audit internal menyeluruh, dan memastikan transisi yang berorientasi pada pelayanan, bukan kekuasaan kelembagaan," tukasnya. (Najib/Yudis/*)

Share: