JAKARTA (11 Juli): Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2025 yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal pada 2029 dan seterusnya, bisa mengakibatkan turbulensi konstitusi.
"Kenapa turbulensi konstitusi? Karena pertimbangan hukum dan amar putusannya berpotensi mengangkangi sejumlah prinsip dan norma dalam konstitusi itu sendiri," ujar Rifqi dalam acara Dialektika Demokrasi bertema Bagaimana Nasib DPRD Setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu, yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Legislator NasDem dari Dapil Kalimantan Selatan I (Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, dan Kabupaten Tabalong) itu menjelaskan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya turbulensi konstitusi.
Misalnya, terkait Pasal 22 E Ayat 1 yang menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Pasal 22 E Ayat 2, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, dan anggota DPRD.
Sedangkan dalam amar putusan MK Nomor 135 PUU 2024 menurutnya, telah menghadirkan dua model pemilu nasional dan lokal, di mana jedanya bisa 2 sampai 2,5 tahun.
Bila pada 2029 mendatang dilaksanakan pemilu nasional, kemudian 2031 menggelar pemilihan local, yakni pemilihan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota. Artinya, pelaksanaan pemilu sudah tidak lima tahun lagi. Padahal, Pasal 22 E Ayat 1 jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
Rifqi juga menilai hal tersebut bukan sekadar persoalan teknis kepemiluan, tetapi menyangkut prinsip tata negara, karena MK dinilai telah membentuk norma Undang-Undang Dasar sendiri. Padahal, yang berhak membentuk dan menetapkan UUD hanyalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pihaknya juga sengaja meminta KPU untuk tidak berkomentar terkait hal itu karena KPU sejatinya sebagai pelaksana apa yang sudah diputuskan DPR bersama pemerintah. Untuk itu perlu kehati-hatian agar tidak terjadi kekacauan dalam penafsiran norma konstitusi.
"Ini penting agar kita tidak confused karena ini pada level dan tataran prinsip dan norma konstitusi. Belum sampai pada pelaksanaan sebuah norma," tegasnya. (dpr.go.id/*)