Dalam satu minggu di bulan Januari 2018, tiga orang kepala daerah (KDH) ditetapkan sebagai tersangka. Seorang gubernur (Jambi) dan dua bupati (Halmahera Timur dan Jombang). Hal ini semakin menambah daftar panjang KDH yang tersangkut kasus korupsi sejak pilkada langsung diberlakukan (2005). Banyak kalangan, mulai dari orang awam hingga pengamat, berkesimpulan bahwa penyebab dari semua itu adalah pilkada langsung. Maka tak ada pilihan lain kecuali pilkada harus dikembalikan ke DPRD. Kesimpulan demikian sangat menyederhanakan masalah. Ibarat dokter yang karena keliru mendiagnosa penyakit maka yang dia obati hanya gejala penyakitnya, bukan sumber penyakitnya. Dalam merekrut pemimpin, pilkada langsung hanyalah salah satu cara. Cara lainnya bisa dipilih oleh DPRD atau ditunjuk langsung. Masing-masing cara itu merupakan implikasi dari sistem politik dan pemerintahan yang dianut sebuah negara.
Di negara demokratis dengan sistem presidensial, pemimpin pemerintahannya dipilih langsung oleh rakyat. Maka dia bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada yang lain. Sedangkan yang menganut sistem parlementer, ketua parpol pemenang pemilu otomatis menjadi kepala pemerintahan. Variannya adalah kepala pemerintahannya dipilih oleh anggota legislatif. Di tingkat daerah, dipilih oleh DPRD. Karena itu maka KDH bertanggung jawab kepada DPRD.
Di negara sentralistik otoriter, KDH ditunjuk oleh pemerintah pusat, bukan dipilih. Maka KDH bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Memang begitulah asas pemerintahan. Pemerintah bertanggung jawab kepada yang memilih atau mengangkatnya.
Indonesia sudah menerapkan ketiga cara tersebut. Ketika negara menganut sistem parlementer di bawah UUDS 1950, KDH dipilih oleh DPRD. Maka KDH pun bertanggung jawab kepada DPRD. Jalannya Pemda tidak stabil karena sering kali DPRD ingin menjatuhkan KDH bukan karena hal-hal yang berkaitan dengan kinerja KDH, melainkan karena kepentingan politik jangka pendek. Trauma oleh hiruk pikuk politik masa sebelumnya yang membuat jalannya Pemda tidak stabil, maka di era Orde Lama, KDH tidak dipilih melainkan diangkat oleh pemeritah pusat.
Sepanjang masa Orla KDH tidak dipilih tetapi diangkat oleh pemerintah pusat. Dengan demikian KDH tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD. Dan itu artinya, KDH tidak dapat lagi dijatuhkan oleh DPRD. Ketika itu pemda relatif berjalan stabil. Kegaduhan politik berhasil diredam. Sayangnya pemerintah gagal membangun perekonomian. Inflasi tidak dapat dikendalikan. Di tengah kondisi ekonomi yang morat marit itu terjadi peristiwa G.30.S/PKI. Peritiwa ini kemudian menjadi casus belly kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaan, sekaligus menandai berakhirnya era Orla.
Rezim Orde Baru yang berkuasa pasca turunnya Bung Karno mewarisi masalah ekonomi yang akut. Untuk itu Orba tampil dengan jargon: pembangunan yes, politik no. Demi pembangunan maka stabilitas harus ditegakkan tanpa kompromi. Seluruh aspek kehidupan dikontrol, utamanya bidang politik. Pada periode ini KDH dipilih DPRD. Tapi semua orang yang melek politik saat itu pasti tahu bahwa pemilihan itu hanya lelucon politik. Karena sejatinya KDH telah terpilih sebelum pemilihan dilakukan. Tujuan pemberian otonomi di era Orba adalah dalam rangka dayaguna dan hasil guna pemda di samping aspek pendemokrasian. Jadi, tidak heran jika ketika itu demokrasi sekadar ditempatkan sebagai sampingan. Harus diakui bahwa Pemeritah Orba berhasil melakukan pembangunan di berbagai bidang. Meski untuk itu rakyat harus membayar mahal. Partisipasi politik warga sangat terbatas. Yang terjadi adalah mobilisasi. Memang itulah ciri negara sentralistik otoriter. Sangat mengagungkan efisiensi dan efektivitas, tujuan seringkali mengabaikan proses.
Seiring dengan kian meningkatnya taraf pendidikan dan membaiknya perekonomian masyarakat, tumbuh pula kesadaran mereka akan perlunya keterbukaan ruang publik untuk partisipasi politik. Teori Maslow tentang hirarki kebutuhan mengonfirmasi hal tersebut. Dan itu hanya mungkin dalam sistem demokratis. Masyarakat mulai muak dengan mobilisasi. Mereka mulai sadar bahwa rakyat tidak sekadar hidup untuk sepotong roti. Gelombang reformasi akhirnya memaksa Soeharto terjungkal dari tampuk kekuasaan.Seperti diketahui, tuntutan reformasi ketika itu adalah: demokratisasi, desentralisasi, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), penghormatan HAM dan penegakan hukum. Namun 20 tahun pasca reformasi, nampaknya apa yang dicita-citakan dulu makin tidak jelas. KKN kian masif. Jika dulu nyaris tak terdengar ada KDH yang terlibat kasus korupsi maka kini nyaris tiap hari kita mendengar ada KDH yang tersangkut kasus korupsi.
Kenapa korupsi KDH kian marak?
Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pilkada sangatlah besar. Jauh sebelum pemungutan suara, alias masih dalam status berniat ikut pilkada, uang sudah mulai digelontorkan. Diawali dengan menebar spanduk, baliho, banner, temu warga atau apapun namanya. Biaya untuk ini bukan sedikit. Kian mendekat pilkada kian besar pula biaya. Perburuan kursi partai pengusung pun bukan perkara mudah. Selain melakukan fit & proper test, parpol juga meminta hasil survei. Namun jangan heran jika anak "ingusan" dengan pengalaman pemerintahan yang minim yang diusung. Juga bukan mereka dengan rekam jejak yang “bersihâ€. Bukan pula mereka yang berpengalaman dengan sederet gelar akademik. Begitu pun dengan popularitas dan elektabilitas yang bagus, bukan jaminan. Karena pada akhirnya yang menentukan adalah "wani piro".
Partai memasang tarif per kursi untuk mengusung seseorang. Kian mepet waktu pendaftaran kian mahal pula harga kursi. Padahal UU dengan tegas melarang "mahar politik". Sementara transaksi terkait mahar dilakukan sangat vulgar dan terang benderang. Bahkan tidak sedikit partai yang brutal. Seperti kalap mengejar duit. Tanpa malu dan merasa bersalah, mengeluarkan dua atau lebih rekomendasi usungan. Karena hanya satu rekomendasi yang berlaku, maka rekomendasi lainnya batal. Celakanya, rekomendasi yang batal dan diperoleh dengan tidak cuma-cuma itu membuat bakal calon usungan harus gigit jari. Karena uang mahar hilang percuma alias tidak bisa ditagih lagi. Biaya kian membengkak seiring makin mendekatnya waktu pencoblosan. Jika dulu dikenal serangan fajar, maka belakangan yang terjadi adalah “serangan frontalâ€. Tiada hari tanpa “Berjuang†(Beras, Baju dan Uang). Aturan memang melarang money politics. Sanksinya pun berat. Tetapi aturan tinggal aturan. Lantas apakah biaya pilkada yang besar itu sebagai sumber masalah. Pasti bukan. Karena biaya besar itu hanyalah akibat dari akar masalah.
Akar masalah
Reformasi telah mengantarkan Indonesia menjadi negara demokrasi. Sebagai negara demokrasi yang kekuasaannya dari, oleh, dan untuk rakyat, maka mau tidak mau, parpol menjadi institusi penting. Secara teoritis, demokrasi di suatu negara berbanding lurus dengan kondisi kepartaiannya. Artinya, sehat tidaknya demokrasi suatu negara sangat tergantung pada kondisi partainya.
Indikator kondisi kepartaian secara umum dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi parpol, yakni, pertama, pendidikan politik. Melalui fungsi ini, parpol melakukan kaderisasi. Pendidikan politik tidak sekadar membuat kader memahami secara baik ideologi dan platform partainya, tapi lebih dari itu, dengan pendidikan politik, parpol mentransformasikan ideologi negara kepada para kadernya. Harapannya adalah parpol tidak sekadar memiliki kader berkualitas dan militan tetapi lebih dari itu, parpol berfungsi menyiapkan calon negarawan yang siap menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan lain, termasuk kepentingan partai sekali pun.
Jadi, jika suatu saat kader itu terpilih menjadi pejabat publik di eksekutif atau di legislatif, misalnya, maka dia tanpa ragu akan berkata, kesetiaanku kepada partai telah berakhir tatkala kesetiaanku kepada negara dimulai. Lewat pendidikan politik, parpol melahirkan politisi yang berideologi dan berkarakter kuat. Bukan politisi pragmatis dan oportunis yang hanya berpikir untuk kepentingan sempit dan sesaat.
Kedua, rekrutmen. Ketersediaan kader yang mumpuni membuat parpol siap setiap saat menghadapi setiap momen politik. Dengan demikian tidak akan ditemukan lagi perilaku aneh parpol yang membuka loket pendaftaran caleg atau calon kepala daerah. Atau mendukung kader partai lain, sementara kadernya sendiri dibiarkan terlunta-lunta. Patut digarisbawahi bahwa parpol yang berperilaku aneh semacam itu, merupakan indikator bahwa parpol itu telah gagal melaksanakan fungsi kaderisasi. Ketiga, agregator dan artikulator kepentingan masyarakat. Fungsi ini menjadikan parpol sebagai institusi penting yang menjembatani aspirasi rakyat dengan kehendak pemerintah. Sayangnya ketiga fungsi tersebut tidak berjalan.
Melihat ketiga indikator di atas maka dapat disimpulkan bahwa parpol kita saat ini sedang sakit parah. Akibatnya, demokrasi hanya sekadar prosedur. Indonesia terjebak pada apa yang oleh Gorge Sorensen disebut sebagai frozen democracy (demokrasi beku). Parpol yang sejatinya merupakan alat perjuangan telah berubah menjadi monster yang menakutkan. Sebabnya adalah parpol dikendalikan oleh politisi tanpa ideologi. Yakni politisi pragmatis tanpa visi yang hanya mengejar target-target jangka pendek dan kepentingan sesaat. Mereka membajak parpol menjadi oportunis, mengejar kesempatan dalam kesempitan.
Politik poco-poco
Poco-poco adalah tarian rakyat yang sangat populer. Maju selangkah mundur dua langkah. Mutar-mutar tidak maju-maju. Mungkin itu adalah analog yang pas atas pikiran mengembalikan pilkada ke DPRD.
Kasus "uang ketuk palu" APBD yang menjerat gubernur Jambi Zumi Zola hanya satu dari banyak kasus serupa yang terjadi di daerah lain, yang episentrumnya di DPRD. Modusnya sama. Anggota DPRD menyandera RAPBD dengan alasan yang dibuat-buat. Maka tidak terbayangkan kemudian ketika kewenangan memilih KDH kembali ke DPRD. Itu artinya memberbesar kewenangan DPRD. Padahal Lord Acton sudah mengingatkan bahwa power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Pengalaman ketika di bawah UU No. 22 Tahun 1999 KDH dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD, kiranya cukup menjadi pelajaran. Transaksi politik sangat kental mewarnai LPJ KDH. Dan itu salah satu alasan dilakukan pilkada langsung. Alasan lain, konsistensi sistem presidensial. Presiden dipilih langsung, kades dipilih langsung. Menjadi aneh justru jika KDH dipilih oleh DPRD.
Patut pula diingat bahwa survei TII sejak 2005 konsisten menempatkan DPRD/DPR masuk lima besar lembaga terkorup di Indonesia. Maka ketika KDH dipilih DPRD, bisa saja terjadi begitu selesai pilkada, paslon terpilih langsung dibatalkan dan sebagian besar anggota DPRD akan mengalami PAW karena terbukti memberi dan menerima suap saat pemilihan. Jika itu benar terjadi maka tidak tertutup kemungkinan ada pikiran untuk kembali ke model Orla. KDH tidak dipilih tapi langsung diangkat oleh pemerintah pusat. Dan itu berarti sempurnalah politik poco-poco kita.
H.M LUTHFI A. MUTTY
Anggota Fraksi NasDem DPR RI (A.34)
Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan III