Berita

Sugeng Nilai RAPBN 2021 Cenderung Konservatif

JAKARTA (16 Agustus): Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menilai RAPBN 2021 sangat realistis, bahkan cenderung konservatif. Sugeng menyampaikan penilaian itu seusai menyimak Pidato Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pengantar RAPBN 2021 dan Nota Keuangan pada Rapat Paripurna DPR RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8),

“Saya melihat apa yang disampaikan pemerintah sangat realistis, bahkan cenderung konservatif. Misalnya defisit APBN dipatok hanya 5,5 persen dari PDB (produk domestic bruto), kurang lebih defisit anggaran menjadi sekitar Rp 950 triliun. Kalau dilihat angka belanjanya, kurang lebih Rp2.774 triliun, dengan pendapatan  Rp1.776 triliun,” kata anggota DPR RI dari NasDem dapil Jawa Tengah (Jateng) VIII itu.

Sugeng menjelaskan, pendapatan sebesar Rp1.776 triliun tersebut dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp293 triliun, sementara dari pajak sekitar Rp1.400 triliun. Dari PNBP tersebut berasal dari sumbangan sektor minyak dan gas (migas) serta mineral.

"Lifting minyak yang disampaikan pemerintah sebesar 705 ribu barel per hari, dan gas 1 juta setara barel per hari. Hal tersebut sama persis asumsi makro yang dibuat di Komisi VII DPR RI beberapa waktu lalu, yakni menurunnya capaian lifting akhir tahun 2019 sekitar 735 ribu barel per hari. Sekarang justru dipatok 705 ribu barel per hari. Dengan Indonesia crude price (ICP) sebesar 45 dolar AS per barel," papar Sugeng.

Ditegaskan wakil rakyat dari Jawa Tengah VIII itu, angka US$45 per barel itu adalah nilai optimistik pemerintah dengan harga crude dunia, karena konsumsi dunia terhadap crude saat ini mulai naik. Harga rata-rata  West Texas Intermediate (WTI), tambah Sugeng, memang berada di sekitar US$40 per barel.

"Ini yang menjadi patokan pemerintah,” tandas Sugeng.  

Melihat angka-angka tersebut, Menurut Sugeng, RAPBN 2021 yang disampaikan pemerintah sangat realistis, bahkan pruden. Ini juga merujuk pada pengalaman empirik yang lain. Padahal dengan disahkannya Perppu menjadi UU No.2 Tahun 2020 sebetulnya memberi keleluasan kepada pemerintah termasuk melebarkan defisit APBN sebesar 5,5%, yang sebelumnya sekitar 6,1%.

Sugeng melihat hal itu sebagai stimulus, karena terkadang defisit yang besar tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya sebagaimana diketahui beberapa negara dengan stimulus lebih besar, namun PDB-nya lebih besar tumbuh negatif.

“Kita bersyukur kuartal II adalah minus 5,5 persen. Kita berharap kalau pun turun mudah-mudahan hanya tambah dua persen saja, menjadi minus 7 persen. Itu masih oke. Karena pertumbuhan ekonomi didukung oleh konsumsi, ekspor dan investasi. Sebagaimana diketahui ekspor dan investasi memang anjlok, sehingga pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh konsumsi. Yang harus dipastikan, bagaimana APBN yang sebesar Rp2.700 triliun itu betul-betul sampai ke rakyat serta bagaimana skema mengatasi pertumbuhan ekonomi, termasuk menumbuhkan UMKM,” jelasnya.

Sugeng meyakini, isu saat ini bukan semata sebesar-besar APBN, melainkan bagaimana anggaran belanja sampai ke masyarakat, yakni dengan penyerapan anggaran. Tidak ada lagi alasan birokratif, karena adanya UU No.2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Negara, bahwa pemerintah memiliki keleluasaan lebih mengelola keuangan negara. (dpr.go.id/*)

Share: