Berita

Pekerja Kreatif Butuh Perhatian Serius Pemangku Kepentingan

JAKARTA (7 April): Perlu perhatian dari pemangku kepentingan agar para pekerja kreatif bisa memanfaatkan setiap peluang yang mampu mendorong industri kreatif di Tanah Air tetap survive.

"Membutuhkan kerja-kerja besar dan harus mendapat prioritas tinggi agar peluang yang ada pada industri kreatif bisa dimanfaatkan dengan baik para pekerja seni," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Merumuskan Jalan Kebangkitan Industri Kreatif Pasca Pandemi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/4).

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu menghadirkan Wishnutama Kusubandio (Komisaris Utama Telkomsel, Menteri Parekraf 2019-2020), Harry ‘Koko’ Santoso (Promotor Event), Irfan Aulia (Founder Portamento) dan Diana Sastra (Seniman Tradisional Tarling).

Hadir juga Niluh Djelantik (Ketua DPP Partai NasDem Bidang UMKM, Entreprenuer Industri Fashion) dan Ananda Sukarlan (Pianis & Komponis) sebagai penanggap.

Menurut Lestari yang akrab disapa Rerie itu, saat ini Indonesia belum bisa dikatakan bebas dari pandemi dan masih dalam masa transisi menuju pengendalian penyebaran Covid-19. Sehingga mobilitas manusia, masih harus dibatasi. Akibatnya, pekerja di industri kreatif yang sebagian besar seniman terdampak.

Bukan hanya itu, tegas Legislator NasDem tersebut. Dampak pembatasan mobilitas manusia juga dirasakan masyarakat penikmat seni pertunjukan.

"Jadi, baik seniman dan penontonnya terdampak di masa transisi ini. Ada aspek lain yang hilang dari rutinitas hiburan masyarakat," ujar Rerie.

Karena itu, kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut, saat ini harus ada upaya agar di masa transisi ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya agar industri kreatif tetap bergeliat dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat.

Menteri Parekraf 2019-2020, Wishnutama Kusubandio berpendapat bahwa industri kreatif di masa pandemi sangat lekat dengan ekonomi digital.

Namun, ujar Wishnutama, harus dipahami bahwa peluang di ekonomi digital belum maksimal dimanfaatkan.

Sangat disayangkan, tambah Wishnutama, yang mendapatkan keuntungan lebih besar bukan platform-platform dari Indonesia. "Jadi yang paling dapat manfaat dari maraknya digitalisasi ekonomi ini bukan bangsa kita," ujarnya.

Padahal, ujarnya, peluang pendapatan ekonomi digital itu senilai US$155 miliar atau 10% dari GDP Indonesia.

Wishnutama mengatakan pembangunan ekonomi kreatif harus komprehensif dari berbagai sisi. Untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi digital pada masa datang, tegasnya, para pemangku kepentingan harus melakukan persiapan secara matang.

Promotor pertunjukkan, Harry ‘Koko’ Santoso menilai kondisi infrastruktur kesenian Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Gedung-gedung kesenian misalnya, yang layak hanya tersedia di Jakarta.

Akibatnya, kata Koko, musisi nasional saat ini belum memiliki daya tawar yang cukup untuk bisa dihargai di kancah global.

Untuk bangkit dari kondisi tersebut, menurut Koko, perlu sebuah gerakan berskala nasional. Selain itu butuh perhatian besar dari para pemangku kepentingan untuk mewujudkan gerakan tersebut.

Seniman tradisional Tarling, Diana Sastra  mengakui kebijakan pembatasan sosial menyebabkan para pekerja seni di daerah terpukul karena tidak bisa sama sekali menjalankan profesinya.

Untuk memanfaatkan media digital, ujar Diana, sebagian pekerja seni di daerah belum memiliki ketrampilan yang memadai.

Menyikapi kondisi tersebut, dalang Warseno, yang hadir sebagai peserta diskusi, berharap pemerintah hadir dalam membantu para pekerja seni untuk mengatasi sejumlah kendala yang dihadapi di masa pandemi ini.

Ketua Bidang UMKM DPP Partai NasDem, Entreprenuer Industri Fashion, Niluh Djelantik berpendapat, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) adalah real ekonomi saat ini. Karena sejumlah acara pertunjukan hilang, katanya, berdampak langsung terhadap UMKM.

Niluh menyarankan, perlu kesepakatan sejumlah pihak untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan agar kegiatan pertunjukan atau aktivitas seni bisa dilakukan. Dengan begitu, UMKM bisa menggeliat kembali.

Pada kesempatan yang sama, pianis & komponis, Ananda Sukarlan yang sedang berada di Labuhan Bajo, Flores, NTT, mengatakan tentang lemahnya infrastruktur kesenian di Indonesia.

Di Labuhan Bajo, Ananda kesulitan mendapatkan grand piano yang dibutuhkan untuk memproduksi konten kesenian.

Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai urusan kebudayaan di negeri ini memang belum mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah.

Hal itu terlihat dari berpindah-pindahnya posisi Ditjen Kebudayaan pada pemerintah. Ditjen Kebudayaan pernah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pernah juga di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan akhirnya kembali lagi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kenyataan itu, tegas Saur, memperlihatkan negara tidak memiliki kebijakan yang tegas dan jelas terkait pengembangan kebudayaan di masa datang.[*]

Share: