Berita

Kebijakan Impor Beras Perlu Diteliti Lebih Dalam

JAKARTA (30 Maret): Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Yessy Melania menilai kebijakan impor beras perlu dimaknai dan diteliti lebih dalam, tidak hanya soal setuju atau tidak. Akar permasalahan pangan ini mesti diurai untuk menuju kedaulatan pangan nasional.

"Persoalan impor beras tidak hanya masalah setuju atau tidak setuju. Saya memaknainya jauh lebih luas dan dalam. Sebab, ini menyangkut pekerjaan lintas sektor kementerian/lembaga, serta hajat hidup orang banyak, baik nasib petani sebagai produsen, maupun masyarakat sebagai konsumen, terlebih nasib bangsa," ujar Yessy dalam keterangan tertulis, Rabu (29/3).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2021 ke 2022, produktivitas padi dan stok beras secara nasional meningkat. Padi surplus 0,61%, sementara beras meningkat 0,59%.

"Artinya kinerja Kementerian Pertanian cukup baik dan perlu kita apresiasi," imbuh Yessy.

Di sisi lain, lanjut Yessy, pemerintah melakukan impor yang mengakibatkan harga beras di pasaran naik.

Ia berharap stakeholder yang menangani pangan lebih detail mengidentifikasi persoalan ini, mulai dari sisi produksi, rantai pasar, penyerapan hingga industri.

Permasalahan lain yang perlu didalami ialah kebutuhan beras yang meningkat dan mekanisme penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET).

"Atau justru rantai pasok dan distribusi kita banyak pemain karena impor menguntungkan pengusaha. Bisa juga dari persoalan hulu karena berkurangnya lahan pertanian dan jumlah petani," urai Yessy.

Menurut Yessy, impor beras bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pertanian, namun juga Badan Pangan Nasional, Perum Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.

"Mereka memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang beririsan, serta berpengaruh terhadap penyerapan hingga penjualan beras di dalam negeri," tegasnya.

Lebih lanjut legislator dari Dapil Kalimantan Barat II (Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, dan Melawi) ini mengatakan, impor beras tahun anggaran 2023 sebesar dua juta ton adalah impor untuk menjaga stabilitas harga di pasar menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, persiapan bantuan pangan langsung tahun 2023, dan keamanan pangan selama 2023.

"Yang terpenting bukan hanya soal setuju atau tidak impor, namun bagaimana semua pihak duduk bersama dan mencari solusi agar kedaulatan pangan Indonesia bisa terwujud ke depan secara adil dan berkelanjutan melalui akses pangan yang murah, mudah, bermutu dan berkualitas. Karena potensi pertanian kita sangat besar. Saya kira Indonesia sangat bisa," pungkasnya.(yesayas/dis/*)

Share: