JAKARTA (2 Mei): Anggota Komisi XII DPR RI, Gulam Mohamad Sharon, tak sepakat dengan wacana relaksasi ekspor bijih bauksit agar kegiatan ekonomi di hulu tambang tetap berjalan.
Menurutnya, membuka kembali keran ekspor bijih bauksit berpotensi menghambat hilirisasi, serta menurunkan kepercayaan investor yang sedang atau akan membangun smelter.
“Saya mendukung penuh kebijakan Presiden dalam membangun ekosistem industri nasional. Tapi kalau ekspor dibuka lagi, kita harus pikirkan ulang. Ini bisa mengulang kesalahan masa lalu, di mana begitu ekspor dibuka, banyak investor membatalkan pembangunan smelter,” kata Sharon di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Sharon menyebut larangan pernah diberlakukan di era Presiden SBY, yang mendorong pembangunan smelter oleh WHW (Well Harvest Winning) di Kalimantan Barat. Namun, setelah kebijakan dilonggarkan, komitmen pembangunan banyak yang terhenti karena lebih menguntungkan menjual material mentah.
“Zaman itu WHW dibangun karena ekspor ditutup. Tapi ketika dibuka lagi, banyak yang berhenti membangun karena lebih untung jual bahan mentah. Kalau pola ini terus berulang, investor akan ragu menaruh uangnya di proyek jangka panjang,” ujarnya.
Legislator NasDem dari Dapil Kalimantan Barat II (Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, dan Melawi) itu menyayangkan proyek-proyek smelter yang mandek. Seperti PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Laman Mining, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Quality Sukses Sejahtera dan PT Sumber Bumi Marau. Ia mempertanyakan urgensi relaksasi ekspor, sementara banyak proyek belum memulai konstruksi.
“Tiangnya saja belum ada (pembangunan smelter). Kalau mau relaksasi, harus ditinjau ulang apakah sesuai dengan visi dan misi Presiden. Jangan sampai relaksasi membuat yang mau komit bangun jadi mundur semua,” ungkapnya.
Ia menegaskan solusi saat ini bukan dengan membuka keran ekspor, melainkan mempercepat pembangunan smelter, memberikan insentif investasi, dan menjamin penerapan Harga Patokan Mineral (HPM) yang adil, terutama untuk pelaku usaha lokal.
“Kalau kita mau bentuk ekosistem industri yang sehat, hentikan ekspor, permudah izin, beri ruang dan insentif bagi smelter, serta kawal penerapan HPM agar tambang-tambang lokal tidak ditekan oleh pembeli,” tambahnya.
Meski pemerintah menyebut kondisi hilirisasi sudah berada di titik kritis karena penurunan produksi dan belum rampungnya banyak smelter, Sharon menilai itu justru waktu yang tepat untuk menegaskan arah kebijakan nasional.
“Jangan goyah hanya karena prosesnya berat. Kalau kita konsisten, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia bisa menjadi pemain utama industri aluminium, bukan hanya penjual bijih mentah,” tutup Sharon. (metrotvnews.com/*)