Berita

TBC Masih Tinggi, Nurhadi Minta Perbaiki Tata Kelola yang belum Optimal

JAKARTA (8 Mei): Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, prihatin karena masih tingginya kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia dan kegagalan pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 dalam upaya eliminasi penyakit tersebut.

"Hari ini kita membahas soal eliminasi TBC. Kita tahu semua bahwa ini bukan penyakit baru, tapi saya merasa angka kasusnya seolah-olah tak tersentuh," ujar Nurhadi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Percepatan Eliminasi Tuberculosis, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/5/2025). 

Pada 2024 tercatat 387 kasus per 100.000 penduduk, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia. Nurhadi menilai persoalan masih maraknya penyakit TBC di Indonesia tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyangkut perencanaan dan tata kelola program yang belum optimal. 

"Saya kira ini tidak sekadar permasalahan teknis saja tapi kaitannya dengan perencanaan ataupun juga tata kelola yang perlu diperbaiki," ucapnya.

Nurhadi mengkritisi fragmentasi pelaksanaan program antara berbagai lini pemerintahan dan sektor. 

"Yang perlu kita cermati, anggarannya sudah sangat besar tapi pelaksanaannya masih seperti terfragmentasi antara pusat dan daerah, antara faskes publik atau swasta, dan antara kesehatan dan infrastruktur," tandasnya.

Legislator dari Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Blitar, Kediri, Tulungagubg, Kota Blitar, dan Kota Kediri) itu pun mengusulkan agar Panja Eliminasi TBC DPR RI fokus pada tiga hal penting itu ke depan. 

Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap realisasi program eliminasi TBC. Kedua, pemetaan sumber pembiayaan dan efektivitas penggunaan anggaran termasuk skema insentif untuk faskes dan peran dana desa perlu diperjelas. 

Ketiga, lanjut Nurhadi, arah strategis 2025-2029 yang konkret dan multi sektor, bukan mengacu atau mengadopsi sekadar copy paste pada tahun-tahun sebelumnya," imbuhnya.

Nurhadi juga menegaskan bahwa eliminasi TBC bukan sekadar isu medis, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. 

"Kita tidak bisa terus berdamai dengan angka kematian. Harusnya bisa dicegah.  Saya yakin bukan hanya persoalan medis. Ini soal keadilan sosial dan hak rakyat Indonesia untuk hidup sehat dan sejahtera," pungkasnya. (dpr.go.id/*)

Share: